TIKAM SAMURAI

CERBUNG

   EPISODE 006  

ALAM TAKAMBANG MENJADI GURU

Di belantara Gunung Sago, anak muda yang mereka sangka telah mampus dan mayatnya dikunyah anjing atau biawak atau harimau itu, yang mereka sangka tak mungkin mau berbuat baik meski sebesar zarahpun, saat itu tengah duduk bersila. Dia duduk bersila di atas sebuah batu layah di pinggang gunung yang tak pernah dijejak kaki manusia. Dari sana dia dapat melihat ke bawah, ke kampungnya. Dia melihat kerlip lampu seperti seribu kunang-kunang yang sedang bermain.

Rindunya membakar hati. Namun kalau dia pulang, siapa yang akan dia temui di sana? Tak seorangpun.Ketiga keluarganya telah mati. Memang ada seseorang yang sangat ingin dia temui. Namun dia yakin orang itu takkan bersedia dia temui. Renobulan. Masih hidupkah dia? Dia yakin anak Datuk Maruhun itu masih hidup. Sebab dia gadis yang cantik. Dan perempuan-perempuan cantik biasanya punya umur panjang. Kecuali kakak perempuannya yang diperkosa dan melawan, dan dibunuh oleh Saburo Matsuyama.

Saburo! Tiba-tiba dia tertegun. Dendamnya menyala. Dia kembali menatap ke kerlip lampu di bawah sana. Ada beberapa kampung yang nampaknya berdekatan dari kaki gunung ini. Padahal jika ditempuh jaraknya cukup berjauhan. Dia hafal kampung-kampung di lembah sana. Sebab dahulu dia telah mendatangi semua kampung itu. Di kampung-kampung itu telah mengadu nasib. Berjudi.

Dan semua penduduk kampung-kampung itu mengenalnya sebagai hantu judi. Tak ada yang tak mengenalnya. Karena dia lebih sering menang dalam perjudian daripada kalah. Dan bila dia menang, dia selalu memberi anak-anak uang belanja. Anak-anak menyukainya. Hanya orang tua mereka yang tak menyukai dia. Dia tersenyum bila mengingat kemenangannya dalam berjudi.

Tiba-tiba dia rasakan angin bertiup agak kencang. Dan dia memang tengah menanti angin yang bertiup itu. Tiap senja dia nantikan angin itu di atas batu layah ini. Sudah berbilang bulan dia begini. Dan berbilang bulan dia melatih diri.

Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya.

Tes. , tes . . tes . . ! Dia dengar detisan halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah ditampuknya. Bila angin bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh. Berarti ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.

Tiba-tiba tangannya yang lemas tadi bergerak ke balik kain sarung yang tersandang di bahunya. Dan saat berikutnya terlihat sebuah kilatan yang terlalu cepat untuk diikuti oleh pandangan mata. Tak sampai empat hitungan. Benda berkilat itu, yang tak lain dari samurai yang telah menyudahi nyawa ketiga keluarganya itu, dia sarungkan kembali. Dan dengan perasaannya yang sudah amat terlatih, dia mengetahui bahwa dari sebelas daun kayu yang jatuh di sekitarnya, ada tiga lembar yang luput dari sabetan samurainya. Yang delapan lembar lagi belah dua persis tentang tulang di tengah daun-daun itu.

Dia menarik nafas panjang. Kemudian duduk lagi bersemedi. Duduk mengatur pernafasan. Dia tak punya guru. Gurunya adalah Alam Takambang. Dia tak mengerti ilmu silat. Sampai detik inipun dia tak mengetahui selangkahpun tentang persilatan. Namun hatinya telah jadi baja untuk membalas dendam kematian ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga akan menuntut balas atas kematian orang kampungnya. Atas perbuatan Jepang membakar kampungnya. Memperkosa kakaknya dan perempuan-perempuan lain. Dan atas perlakuan Jepang yang telah membunuh kanak-kanak di kampungnya dulu. Dia akan menuntut balas pada Jepang dengan mempergunakan senjata mereka sendiri, Samurai !

Sudah berbilang bulan dia berada di gunung ini. Dan selama itu pula dia melatih diri. Yang terbayang olehnya adalah gerakan ayahnya ketika mengayun, dan menikamkan samurai ke belakang. Yang menyebabkan matinya dua orang serdadu Jepang sekaligus dalam perkelahian di halaman rumahnya dulu. Gerakan itu dia ulangi terus. Terus dan terus. Sementara gerakan bagaimana mencabut samurai dia pelajari dari perkelahian antara teman-teman Datuk Maruhun di sasaran rahasia itu dengan tentara Jepang tersebut.

Dia mengingat gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian memasukkannya kembali samurai telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya. Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia mengeraskan hati untuk belajar.

Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus kali. Tiap hari kerjanya hanya mencabut samurai. Kemudian memasukkannnya kembali.

Lalu ketika gerakan itu dia rasa sudah mahir, dia menirukan gerakan menghayunkan samurai membabat lawan yang ada di depan dengan gerakan amat cepat. Kemudian meniru gerakan ayahnya. Setelah membabat lawan di depan, tanpa menukar pegangan kedua tangan di gagang samurai, senjata itu dihentakkan meninggi ke belakang. Gerakan ini semula terasa sulit dan kaku. Namun dia harus belajar. Harus ! Yang menyulitkannya adalah karena dia tak mengetahui gerak dasar samurai itu. Tak pula mengetahui kuda-kuda yang harus dipakai. Itulah sebabnya dia lambat sekali menjadi mahir.

Dan kinipun, setelah dia mahir dalam gerakan itu, kuda-kudanya tetap tak betul menurut methode ilmu samurai. Kuda-kuda dan langkah kakinya dia buat menurut kehendak seleranya saja. Bagaimana yang dia rasa paling baik untuk menyerang dan menangkis, serta merubuhkan lawan segera.

Dia tetap berlatih hari demi hari. Siang hari dia berburu kijang di gunung itu. Caranya mudah sekali. Selama hidup hampir setahun di rimba raya itu, dia sudah hafal di mana kijang-kijang itu minum siang hari. Dia juga tahu dari mana harus mendekati binatang itu. Dia harus tegak di bawah angin. Agar bau tubuhnya tak tercium oleh hewan itu.Pagi-pagi dia sudah duluan ke dekat kolam kecil itu. Tiarap di dalam semak rendah. Diam di sana seperti pohon mati.

Tapi suatu hari dia mendapat cobaan. Yang datang minum ke sana bukannya kijang tetapi macan tutul. Hewan ini datang justru dari atas pohon di mana si Bungsu sedang tiarap di bawahnya. Macan itu segera mengetahui kehadirannya. Dia menerkam si Bungsu. Namun bagi si Bungsu kecepatan macan ini tak ada artinya dibanding kecepatan yang telah dia miliki dalam mencabut dan mempergunakan samurai.

Dia malah tetap berbaring diam ketika macan itu meloncatinya. Ketika tinggal sedepa lagi, saat itulah tangannya bergerak. Dua kali dia menghayun tangan, saat berikutnya samurainya masuk kembali ke sarangnya bersamaan dengan rubuh dan terpotong duanya tubuh macan tutul itu. Padahal dia masih setengah berbaring. 

Siang itu dia tak makan daging kijang. Melainkan makan daging macan tutul. Daging macan itu dia bakar. Api dia bikin dengan mengadu dua buah batu kuat-kuat.

Kecepatan menghantam macan yang datang menerkam belumlah dapat dijadikan ukuran. Terkaman macan yang bertubuh besar itu tetap saja lambat bila dibandingkan misalnya dengan terbangnya lalat. Inilah yang dia pelajari setelah itu. Sisa bangkai macan mengundang banyak lalat ke dekat-nya. Dia memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi.

Ada perbedaan mencolok antara ayahnya belajar silat dengan dirinya belajar kini. Ayahnya dulu belajar silat sekedar untuk penjaga diri. Kemudian keadaan membuat dia menjadi Guru Silat. Kadar kesungguhan kurang tinggi. Berlain dengan dirinya kini. Dia belajar karena dia bertekad untuk membalas dendam. Dan keinginannya untuk cepat pandai amat menyala. ltulah sebabnya dalam kerajinan berlatih, ayahnya dulu pasti kalah tekun dari yang dia lakukan kini.

Dia memejamkan mata. Lalat mulai berkerubung pada sisa bangkai macan tutul itu. Dia mendengar dengung langau hijau. Kemudian dia mulai menghitung. Terlalu banyak. Dia mendengar getar sayapnya ketika terbang. Tangannya mulai dia lemaskan. Lemas seperti sutera. Seperti tak ada tulang di dalam lengannya itu. Kemudian dia memusatkan pendengaran. Tiba-tiba tangannya bergerak cepat. Empat kali dia membabat, lalu tiba-tiba samurai itu lenyap kembali ke dalam sarangnya di balik kain sarung yang tersandang dipundaknya.

Tanpa membuka mata dia dapat mengetahui, bahwa dalam empat kali membabat tadi, hanya ada dua ekor langau hijau yang mati. Ada yang perutnya putus. Ada yang kepalanya sompeng sedikit. Padahal seorang samurai harus tahu dengan pasti bahagian mana yang dia kehendaki untuk dilukai. Dan bahagian yang dia kehendaki itu haruslah mampu dia lakukan. Dia menghapus peluh. Kemudian duduk lagi. Mengulangi lagi latihan dari awal. Mencabut dan membabat langau-langau itu.

Begitu terus hari demi hari. Begitu terus hari berganti pekan. Pekan berganti bulan. Bulan berganti tahun! Senja ini dia kembali duduk di atas batu pipih itu. Menatap ke lembah sana, ke kaki gunung di mana sawah menghampar. Di mana kerlip lampu dari kampung-kampung mulai kelihatan. Dia duduk menatap ke arah kampungnya.

Rindu kembali bertalu-talu gemuruh di dadanya untuk turun ke sana. Sudah berbilang purnama dia berada di pinggang Gunung Sago ini. Tidur di pondok beratap lalang yang dia buat secara darurat. Yang membuatnya untuk sembuh dari luka yang nyaris membelah punggungnya dan tetap hidup adalah keinginannya yang keras untuk membalas dendam.Kini dia merasa ingin segera kembali ke kampungnya.

Dia menarik nafas panjang. Namun telinganya yang sudah sangat terlatih di rimba raya itu juga menangkap dengus nafas lain. Dia tertegun. Apakah dengus sebentar ini adalah dengus nafasnya sendiri yang terdengar sampai dua kali? Dia tak berani menoleh. Namun nalurinya mengatakan bahwa ada bahaya mengancam dirinya dari belakang. Tapi bahaya apakah itu. Kenapa dia tak mengetahuinya?

Sudah belasan purnama dia duduk di sini. Setiap ada yang bergerak mendekati tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun, akan segera dia ketahui. Semua itu berkat latihan konsentrasinya selama ini. Secara instink tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang tak diingini.

Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis sembahyang Magrib dia selalu dihibur oleh dendang jangkrik dan suara nyanyian binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang yang bersahutan. Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap? Sejak bila lenyapnya?

Kesunyian ini adalah kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini. Dan tiba-tiba kembali dengusan nafas aneh itu dia dengar. Dia yakin dengusan halus dan amat perlahan itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas dari belakangnya. Menurut perkiraannya, jarak antara dirinya yang duduk membelakang dengan mahluk yang mendengus itu paling-paling hanya tiga depa !Tiga depa!

 Ya Tuhan, bulu tengkuknya merinding habis. Kalau benar dugaannya, bahwa yang mendengus itu berada sekitar tiga depa di belakangnya, itu berarti “tamunya” itu telah berada di atas batu pipih besar di mana dia duduk, yang lebarnya sekitar empat depa persegi. Dia duduk di bahagian ujung paling depan. Yang membuat dia kaget adalah kehadiran mahluk yang belum dia kenal itu di atas batu ini. Kenapa sampai tak terdengar olehnya sedikitpun?

Krosak…!

Tiba-tiba dia mendengar suara terpijaknya daun kering di bawah di sekitar batu di mana kini dia duduk. Meski amat perlahan, hampir-hampir tak terdengar oleh telinga orang biasa, namun dengan latihannya selama belasan purnama dia dapat menebak ada sekitar selusin kaki di bawah batu sana. Ketika dia lebih memusatkan pendengarannya ke atas, dia tambah kaget. Ada dua makhluk berada di belakangnya. Satu di kiri, satu di kanan! Manusiakah ? Darahnya mengencang. Tangannya melemas.

“Siapakah yang ada di belakang?” Dia bertanya tanpa menoleh.

Tatapannya lurus ke depan dengan konsentrasi penuh. Tak ada jawaban. Dia segera tahu, siapapun yang ada dibelakangnya, pastilah tak berniat baik.

Tangannya makin melemas dan terasa panas. Bulu tengkuknya makin merinding. Tiba-tiba dia merasakan ada angin menyambar. Dia tak segera mencabut samurainya. Namun dia berguling ke kanan. Gerakan itu dia pelajari dari tingkah dua ekor tupai yang berkelahi di cabang pohon di dekat batu pipih ini. Dia amati perkelahian itu dengan seksama. Kemudian dia berlatih meniru cara bergulingan menyelamatkan diri itu, menyelingi latihan samurainya.

Kini jurus berguling itu dia lakukan. Dia selamat dari terpaan makhluk itu. Kemudian dia duduk berlutut. Namun sebelum dia lihat siapa yang menyerang, kembali makhluk itu menyerangnya secepat kilat. Dia kembali mempergunakan gerak tupai itu. Bergulung dua kali ke kanan dan melambung tegak. Dan kini makhluk yang menye¬rang itu tegak empat depa di depannya.

“Ya Allah!!”Dia terpekik dan surut dua langkah.

 Hampir saja dia terperosok jatuh dari atas batu. Makhluk itu… Ya Tuhan, belum pernah dia melihat makhluk sedahsyat ini. Dalam sinar senja yang masih terang-terang tanah, dia lihat dua makhluk yang luar biasa bentuknya.

“Harimau jadi-jadian!!” dia berbisik sendiri.

Tanpa dapat dia kuasai, tangannya gemetar. Ya, di hadapannya, kini berdiri dua harimau jadi-jadian. Kepalanya mirip kepala harimau. Tubuhnya berbulu mirip harimau. Namun dia tak berdiri di keempat kakinya. Mahluk ini berdiri di atas dua kaki seperti manusia. Tangannya yang berbulu mirip tangan manusia. Demikian pula kakinya. Bulunya berbelang seperti harimau. Matanya merah berkilat. Kuku kaki dan kuku tangannya kelihatan menyembul runcing mengerikan. Makhluk ini kelihatan dahsyat di mata si Bungsu. Dia tak dapat menahan gigilan tubuhnya.

 Sewaktu kecil di kampung dahulu, dia memang sering mendengar cerita tentang harimau jadi-jadian. Cindaku kata orang-orang tua. Namun sejak dia dewasa, cerita itu tak pemah lagi dia dengar. Kalaupun ada, maka cerita itu hanya dimaksudkan sebagai menakuti anak-anak. Siapa menyangka, hari ini dia menyaksikan apa yang dianggap orang kampung itu sebagai dongeng, ternyata benar-benar ada. Dongeng itu bukan sekedar isapan jempol. Senja ini dia melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Dia melirik ke kanan. Jauh di bawah sana, dia lihat kampungnya. Di kampungnya dahulu kabarnya ada orang yang mati dibunuh Cindaku. Di kampung lain juga pernah ada orang yang di teror Cindaku. Apakah ini Cindaku yang meneror orang di kampung di bawah sana?

Kalau dilihat jarak antara gunung dengan kampung di bawah, nampaknya memang inilah Cindaku itu. Tapi dia tak tahu berapa jumlah mereka. Dan dia segera ingat pada suara kaki di bawah sekitar batu tadi. Dia segera menoleh. Dan kembali dia menyebut nama Tuhan beberapa kali. Dia melangkah ke depan tiga langkah.

Si Bungsu benar-benar dicoba iman dan jiwanya. Di bawah dia lihat tak kurang dari enam ekor harimau! Duduk di kaki belakang dan menegakkan kaki depannya. Keenam harimau itu mengelilingi batu pipih di mana dia berada. Dia yakin, jumlahnya pasti lebih dari enam ekor. Sebab tadi dia dengar di sekitar batu itu langkah-langkah yang halus. Inilah rupanya.

Dia kembali menoleh pada Cindaku itu. Keduanya kini mengangkat tangan. Dia tak mengerti kenapa harimau-harimau itu berada di bawah. Seperti menonton ke atas. Apakah harimau-harimau itu adalah bawahan Cindaku ini?

Hatinya benar-benar terguncang. Dia tak sempat berpikir banyak. Cindaku yang paling besar menyerang dengan satu loncatan. Seharusnya dia segera mempergunakan samurainya. Namun terlambat! Kehebatan peristiwa ini membuat reflek yang telah dia latih jadi kacau. Dia hanya mampu menunduk. Dan itu menyebabkan punggungnya dirobek kuku Cindaku. Dia terpental.

Di bawah sana dia dengar geraman harimau. Nampaknya harimau-harimau itu menunggu dirinya dilemparkan ke bawah. Ketika dia terguling, Cindaku yang lebih kecil menyerang. Loncat tupa… Dia segera menggunakan ilmu loncat tupai itu kembali. Berguling tiga kali ke kanan, kemudian tiga kali ke kiri.

Dua terkeman Cindaku itu berhasil dia elakkan. Kemudian meloncat berdiri. Luka di punggungnya pedih sekali. Di punggungnya. Tanpa sengaja dia meraba luka itu. Tiba-tiba dia sadar, luka itu persis di tentang luka yang ditimbulkan oleh tebasan Samurai Kapten Saburo Matsuyama dua belas purnama yang lalu. Persis melintang miring dari belikat kanan ke rusuk kiri.

Ingatannya kembali ke masa lalu. Kesaat ayah dan ibunya dibabat samurai. Di saat kakaknya diperkosa dan dibabat samurai. Di saat dia juga dibabat samurai. Wajahnya mengeras tiba-tiba. Mulutnya tertarik ke bawah. Suatu rasa marah yang tak terperikan tergambar pada wajahnya.

Saat itu Cindaku yang kecil menerjangnya. Tiba-tiba dalam pandangannya Cindaku itu berobah seperti Kapten Saburo yang membunuh keluarganya. Tangannya bergerak ke Samurai di balik sarungnya. Amat cepat.

“Jahanam kubunuh kau!!” desisnya dengan sepenuh rasa benci.

Dan samurainya bekerja! Dua kali tebasan ke muka. Pada tebasan pertama, dada Cindaku yang sedang melayang ke arahnya kena dia tebas. Pada tebasan berbalik yang kedua, leher Cindaku itu hampir putus. Dan anak muda ini berputar ke belakang. Tubuh Cindaku itu turut tertegak setengah depa di belakangnya. Dan saat itu dia menirukan gerak yang dipergunakan ayahnya dahulu. Menikamkan samurai di tangannya ke belakang sambil menjatuhkan diri di lutut kanan!
Crep! Plasss!!Samurai itu menembus dada kiri jadi-jadian itu.

Terdengar raungannya memecah senja. Merobek ketenangan hutan. Suara ribut hewan gunung terdengar tatkala hewan-hewan itu berlarian dari semak ke semak mencari perlindungan. Kera berlompatan dari pohon ke pohon. Raungan itu amat dahsyat. Harimau-harimau yang berada di bawah pada terlompat mundur saking kagetnya.

Si Bungsu menarik samurainya, dan snapp!! Samurai itu kembali masuk ke sarungnya dengan amat cepat. Dia tegak membelakangi tubuh Cindaku yang terkapar tak bernyawa itu. Menghadap pada Cindaku besar yang tertegun kaget di ujung batu sana. Mereka saling menatap. Wajah si Bungsu yang biasanya murung dan sinar matanya yang kuyu, kini berobah. Wajahnya jadi keras dan penuh kebencian. Matanya bersinar penuh amarah.

Dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Harimau-harimau yang ada di bawah sana mengaum hampir bersamaan. Mengaum dan menganga menghadapkan moncong mereka ke bulan yang kelihatan seperti sabit di langit yang tinggi.

Pertanda apa pula ini? Pikir si Bungsu. Dia ingin tahu untuk apa kehadiran harimau-harimau itu. Dengan tetap tak melepaskan pandangan matanya dari Cindaku besar di depannya, dia mundur tiga langkah. Lalu dia tendang bangkai Cindaku mati itu ke bawah. Terdegar suara kaki menjauh dan auman panjang. Lalu suara berkrosak. Suara saling rebut. Cindaku besar yang masih hidup di depannya mendengus dan menggeram.

Nyata sekali dia jadi murka. Lalu tiba-tiba dia menyerang dengan loncatan panjang ke arah si Bungsu. Si Bungsu kembali menyentak Samurai dan menghayunkan dalam empat kali tebasan. Namun dengan terkejut dia melihat Cindaku itu melambung dan kembali tegak di tempatnya semula. Luar biasa!

Dalam terkamannya tadi dia rupanya bisa melihat kilatan samurai yang demikian cepat. Tidak hanya mampu melihat, tapi sekaligus juga mengelakkannya! Tak segorespun dia kena. Samurai itu sudah berada kembali di dalam sarungnya. Kini samurai bersarung itu dia pegang dengan tangan kiri.

Mereka bertatapan. Tiba-tiba Cindaku itu menyerang lagi. Tapi kali ini menyerang dengan bergulingan di bawah. Tubuhnya bergulung seperti pohon yang digulingkan dari atas tebing. Si Bungsu melompat ke kiri dan mencabut samurainya.

Cres, cres, cres! Dari kiri dia mengirimkan tiga sabetan cepat ke tubuh Cindaku itu. Lalu samurai itu kembali masuk ke sarangnya. Namun kembali dia lihat Cindaku itu tegak tiga depa di depannya. Tak kurang satu apapun. Luar biasa. Dia yakin benar tadi, bahwa sabetannya mengenai tubuh Cindaku ini. Apakah tubuh Cindaku besar ini tak mempan oleh senjata tajam?

Bulu tengkuknya merinding. Kalau hal itu benar, maka itu berarti tamatlah riwayatnya di sini. Dia tak memiliki ilmu batin seperti pesilat-pesilat lainnya. Dia hanya mempunyai kepandaian memainkan samurai dan meloncat seperti tupai atau kera yang dia pelajari selama di gunung ini. Bukan ilmu silat. Bukan Kumango seperti yang dimiliki ayahnya. Bukan pula silat Lintau seperti yang dimiliki Datuk Maruhun, ayah Renobulan. Apakah di sini ajalnya?

Tidak. Dia tak mau mati sekarang. Alangkah akan sia-sianya dia menahan segala derita selama belasan purnama kalau hanya akan mati di sini. Dia teringat pada sumpah ayahnya sewaktu akan meninggal. Bahwa ayahnya akan menuntut balas. Bukankah itu suatu isyarat, bahwa dialah yang akan dipergunakan ayahnya untuk menuntut balas atas dendam keluarganya itu? Tangan siapa lagi yang akan dipakai ayahnya untuk membalas kekejaman Saburo dan ptajuritnya kalau tidak tangannya sendiri?

Tidak. Dia tak boleh mati sekarang. Kalau dia mati sekarang, maka dendam ayahnya takkan pernah berbalas. Kematian keluarganya dan kematian orang kampungnya takkan pernah ada yang membalaskan. Kalau dia mati sekarang, maka sia-sialah segala usahanya selama ini.

Tidak. Dia tak mau mati sekarang. Apalagi kematian di mulut seekor Cindaku. Seekor harimau jadi-jadian. Tapi, sampai bila dia mampu bertahan? Sementara punggungnya luka parah. Luka itu terasa amat mengganggu. Sangat pedih. Kata orang, konon kuku dan gigi Cindaku mengandung bisa. Nah, kini punggungnya telah terluka. Berapa lamakah dia bisa bertahan?

Dia lihat Cindaku di depannya merendah. Dia tegak dengan melebarkan kaki dan membungkukkan lipatan lutut. Kemudian meletakkan samurai itu melintang di depan dadanya. Dia menanti gerakan Cindaku itu berikutnya.Jadi-jadian itu mulai melangkah memutar ke kanan. Dia tetap dalam posisinya. Langkah Cindaku itu dia ikuti dengan sudut mata. Cindaku itu kini berada di sebelah kirinya. Berarti berada tentang ujung samurai. Dia masih tegak menanti. Wajah lurus ke depan dan sudut mata menikam ke arah Cindaku itu. Cindaku itu bergerak ke belakangnya. Dia tak memalingkan kepala. Tidak. Untuk memalingkan kepala dia harus memakai sekian detik. Dan itu merugikannya. Dia lalu memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan “melihat” melalui pendengarannya yang amat tajam.

Langkah Cindaku itu amat ringan. Di atas batu besar dimana kini mereka berada langkah mahluk itu hampir-hampir tak terdengar. Namun dia sudah belasan purnama berlatih. Dia tak khawatir, dengan memejamkan mata dia dapat mendengar dengan jelas langkah Cindaku itu. Langkah terutama jadi jelas baginya karena gesekan halus kuku Cindaku yang panjang itu dengan batu. Bagi orang biasa, gesekan itu pasti takkan terdengar. Namun bagi si Bungsu, suara gesekan itu amat jelas terdengar. Cindaku itu berhenti tepat di belakangnya. Sejajar dengan tulang punggungnya dalam jarak sedepa. Itu berarti mahluk jadi-jadian itu bisa menjangkau punggungnya dengan tangannya yang panjang.

Dia menanti, sementara suara dengus dan berebutan daging mentah di bawah sana sudah berhenti. Dia yakin harimau-harimau itu kini menatap ke atas, ke arah mereka. Si Bungsu tetap memejamkan mata. Dia mendengar nafas Cindaku itu memburu. Dia yakin kini Cindaku itu bersiap untuk meyerang. Nafasnya yang memburu itu sebagai tanda. Dan nafas memburu itu juga sebagai pertanda bahwa Cindaku itu juga menaruh rasa gentar. Ya, sama saja seperti dia yang juga merasa gentar. Nafasnya juga memburu.

Tiba-tiba dia rasakan angin bersuit. Itu pertanda Cindaku itu tengah menyerang. Samurainya bergerak. Dia berputar sangat cepat menirukan berputarnya macan kumbang. Kemudian samurainya berkelebat.

Cras! cras! cras!!Tiga kali sabetan cepat dan kuat, kemudian dia menikamkan samurai ke belakang. Snap! Dia duduk di lutut kanan dan menekankan samurai itu ke belakang kuat-kuat. Namun jadi-jadian di belakangnya masih bergerak.

Dan tiba-tiba sebuah hantaman menerpa kepalanya. Dia terpekik dan terlempar ke batu. Samurainya lepas. Kulit kepalanya di bahagian belakang terkelupas selebar telapak tangan! Buat sesaat dia nanar.

Namun di antara rasa terkejutnya yang luar biasa, dia ingat bahwa dia harus tetap hidup. Dia sadar bahwa dirinya kini dalam keadaan kritis. Loncat Tupai! Gerak itu kembali dia lakukan. Berkali-kali gerakan tupai bergelut itu telah menyelamatkan dirinya. Kini begitu tubuhnya menghantam batu, dia bergulingan tiga kali ke kanan saat Cindaku itu menerkam. Seringan tupai dia bergulingan dengan lambungan sehasta tiga kali ke kiri. Kemudian berputar. Cindaku itu menerkam ke sana. Dia bersalto ke belakang. Tegak di atas kedua kaki dengan lipatan lutut di bengkokkan.

Cindaku itu tegak pula empat depa di depannya. Dia hoyong. Luka di punggung dan di belakang kepalanya mengucurkan banyak darah. Berdenyut-denyut. Dia menatap Cindaku itu. Ternyata apa yang dia khawatirkan benar adanya. Cindaku itu tidak mempan oleh senjata tajam. Tidak mempan. Ilmu Cindaku kecil tadi rupanya belum mencapai tingkat yang sempurna. Masih banyak kadar manusianya. Itulah sebabnya dia termakan oleh senjata tajam. Tapi yang satu ini nampaknya sudah mencapai tingkatan yang tinggi. Tak lagi dimakan besi.

Kini si Bungsu tidak lagi bersenjata selain sarung samurai. Samurainya sendiri berada sedepa di depannya. Berarti senjata itu berada di antara dia dengan Cindaku itu. Dia tak berani gegabah memungut senjata yang terletak sedepa di depannya itu. Tidak, itu akan memudahkan Cindaku itu menerkamnya. Dia makin lemah. Dan rasa takut yang luar biasa menjalarinya. Dia takut mati. Tapi takut tak bisa membalaskan dendam keluarganya.

Cindaku itu mulai lagi mempersiapkan diri untuk menyerang, Si Bungsu tetap tegak di tempatnya. Ketika Cindaku itu menggeser tegak ke kiri, dia menggeser tegaknya ke kanan. Jadi mereka bergerak searah. Dia bukannya tak tahu, bahwa Cindaku itu kembali ingin menyerangnya dari sebelah kiri. Yaitu di bahagian rusuknya yang luka. Tapi dia sendiri juga punya maksud menggeser tegaknya ke kanan. Dia ingin meletakkan samurai itu di bahagian kirinya.

Dua langkah, tiga langkah, empat ! Dan tiba-tiba Cindaku itu menyerang. Loncat tupai… Gerakan itu lagi-lagi menyelamatkan dirinya. Tubuhnya berguling ke kiri dengan ringan dua kali putaran, kali ketiga tangannya menyentuh hulu samurai. Gerakan keempat sambil menggenggam samurai itu tubuhnya melentik setinggi setengah depa dan hep! Dia tertegak di pinggir batu. Geraman harimau terdengar di bawah.

Kini dia bisa bernafas lega. Samurai itu berada lagi di tangannya. Dia tahu, bahwa senjata ini takkan mempan pada makhluk tersebut. Namun tanpa senjata. Dia merasa dirinya seperti telanjang. Meskipun tak mempan, senjata ini memberinya semacam sugesti. Dia tegak dengan diam. Melintangkan samurai itu di depan dadanya. Memusatkan konsentrasi dan pendengaran.
 
Jauh di bawah sana, dari kampung di pinggang gunung itu dia mendengar suara tabuh.Tabuh itu pastilah tabuh sembahyang Isa. Suaranya sayup-sayup. Tapi itu jelas suara tabuh dari suara atau masjid. Telinga yang amat tajam dapat mendengar suara tabuh itu. Suara tabuh itu jelas terdengar olehnya tiap hari setiap dia memusatkan konsentrasi di gunung Sago ini. Barangkali tabuh itu berasal dari masjid di kampung Manang Kadok atau kampung Sikabu-kabu. Yang tak terdengar sampai kemari adalah suara azan muazinnya. Mungkin karena suara manusia jauh lebih pelan daripada suara tabuh.

Adzan ! Ya, dia segera ingat pada adzan. Bukankah ayahnya yang taat beragama itu pernah bercerita, bahwa banyak ilmu-ilmu hitam yang bisa dipunahkan dengan suara adzan? Adzan di subuh hari, adzan di senja hari yaitu setiap subuh dan maghrib, selain bermaksud memanggil orang sembahyang, juga punya makna mengusir segala roh jahat dan pengaruh ilmu siluman yang coba mempengaruhi kehidupan manusia. Menurut ayahnya adzan di subuh hari bermakna juga mengusir pengaruh setan yang menyelusup di waktu tidur lewat tengah malam. Adzan di waktu Maghrib mempunyai makna mengusir roh-roh jahat untuk tak terbawa tidur.

Itu menurut cerita ayahnya sewaktu dia masih kecil. Apakah hal itu benar? Apakah adzan mampu memunahkan ilmu kebal makhluk siluman ini? Dia harus mencobanya. Harus! Mustahil ayahnya bercerita sewaktu mereka kecil dulu hal-hal yang tak bermanfaat. Ayahnya bukan jenis orang yang mau menakut-nakuti anaknya dengan cerita-cerita seperti itu.

Kini dia meletakkan sarung samurainya. Memegang samurai itu dengan tangan kanannya. Meletakkan telapak tangan kiri di telinga kiri. Dia memusatkan konsentrasi. Kemudian memejamkan mata. Keselamatannya kini sepenuhnya digantungkan pada pendengarannya. Begitu matanya terpejam, dia membaca Bismillah. Kemudian mulai melafaskan bait-bait adzan.

“Allahuakbar – Allahuakbar”.

Suara bergema mengoyak kesunyian belantara. Dia dengar Cindaku itu tersurut selangkah.

“Allahuakbar – Allahuakbar”.

Cindaku itu melangkah ke kanan tiga langkah. Kemudian selangkah lagi.

“Ashadualaaa-ila haillallaaah!”

Cindaku itu meyerang dengan sebuah dengusan panjang. Sambil tetap melafaskan kalimah Ashadualaaa-ila haillallaaah itu sekali lagi, samurainya bergerak secepat kilat. Dua kali sabetan cepat. Dia yakin sabetan samurainya mengena. Namun dia tetap memejamkan mata. Membaca terus lafas azan itu.

“Ashaduanna Muhammadarasulullah…!”

Tiga langkah di belakangnya Cindaku itu terdengar mendengus. Ketika dia mengulangi kalimah itu sekali lagi, Cindaku itu kembali menyerang dengan sebuah lompatan dan terkaman yang tak tanggung-tanggung. Dia berguling di lantai. Kemudian sambil mempergunakan gerak tupai bergelut, samurainya menghantam ke atas. Sret! Sret! Sret! Tiga sabetan berlainan arah. Kena.

Cindaku itu terhenti. Si Bungsu tetap tegak sambil memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan membaca terus lafas azan itu. Dia seperti mendapatkan tenaga baru ketika membaca azan tersebut. Dia seperti mendapat sugesti. Ketika dia membaca kalimah

“Hayaalasholah” dia mendengar benda jatuh.

Dia membuka mata. Dan Cindaku itu tengah berlutut di batu, mendekap dadanya. Dalam temeram cahaya dia lihat darah hitam kental mengalir dari sela tangan Cindaku itu.

“Allahuakbar. Maha Besar Engkau ya Allah…” dia berkata perlahan.

Tak terasa air mata merembes di pipinya. Dia selamat setelah mengingat ajaran-ajaran yang pernah diberikan ayahnya dahulu. Ya, dia berkali-kali tak mau tidur di rumah, karena kala dia tidur di rumah, subuh-subuh buta sudah dibangunkan ayahnya. Disuruh adzan. Dan dipaksa sembahyang. Alangkah bencinya dia. Alangkah muaknya dia atas suruhan itu. Dia ingin bangun tengah hari. Bahkan ingin bangun sore, sebab sepanjang malam dia berjudi.

Sewaktu kecil dia memang mengerjakan suruhan itu. Tapi setelah agak dewasa, dia lebih senang tidur di rumah temannya. Kini, ternyata ajaran ayahnya itu telah menyelamatkan nyawanya. Dia menangis. Benar-benar menangis. Si Bungsu yang dahulu ketika ayah, ibu dan kakaknya mati tak tahu bagaimana caranya menangis, malam ini menangis di tengah rimba di Gunung Sago. Dia menangis karena menyesal telah membangkang perintah ayahnya. Dia menangis karena rindu pada orang tua yang keras dan angkuh itu. Sikap ayahnya adalah gambaran dirinya sendiri.

“Terima kasih Allah. Engkau selamatkan aku dengan ayat-ayatMu. Terima kasih ayah. Engkau selamatkan aku dengan ajaranmu yang pernah aku ingkari. Terima kasih. Aku yakin Tuhan akan menempatkan engkau di tempat yang bahagia.” dia berbisik di antara air matanya yang mengalir turun.

Dan tiga depa di depannya, Cindaku itu jatuh terguling. Ada keluhan panjang keluar dari mulutnya. Ada lenguhan sakit dan penderitaan yang amat sangat terdengar. Tubuhnya terlonjak-lonjak seperti ayam tak sempurna dipotong. Ajal seperti mempermainkannya. Menyakiti seluruh pembuluh darah dan setiap bulu di tubuhnya. Mungkin sebagai pembalasan atas segala laknat yang telah dia sebar semasa hidupnya.

Si Bungsu jadi hiba melihat penderitaan makhluk itu. Dia melangkah ke dekatnya. Sinar mata jadi-jadian yang tadi merah menyala, kini menatapnya minta dikasihani. Sinar mata itu seperti minta pertolongan. Lenguhnya menghiba seperti meminta agar nyawanya cepat diambil.

“Maafkan saya…” si Bungsu berkata.

Dan samurai di tangannya berkelebat. Cres! Cres! Dua kali sabetan cepat dan kuat. Membuat dada kiri jadi-jadian itu robek besar. Membuat lehernya hampir putus. Penderitaan makhluk itu benar-benar berakhir.

Tiba-tiba rimba itu seperti dikoyak lagi oleh raungan harimau yang ada di bawah. Seperti raung kemenangan. Bulu tengkuk si Bungsu kembali merinding. Dia ngeri kalau-kalau harimau itu berlompatan naik. Itu bisa menyebabkan nyawanya melayang. Dia melemparkan mayat jadi-jadian itu ke bawah. Terdengar suara berkerosak. Dan dalam waktu sekejap, semua harimau yang ada di bawah melompat dan lenyap ke palunan rimba. Masing-masing membawa serpihan bangkai makhluk jadi-jadian itu.

Si Bungsu menghapus air matanya. Menghapus keringat dingin yang merengas di keningnya. Ternyata ayahnya berkata benar tentang ada ayat-ayat Al Qur’an dan lafas Adzan yang sanggup memunahkan ilmu hitam. Dia membuktikannya malam ini.Kini tubuhnya terasa lemah. Dia tak tahu sudah berapa banyak darah yang keluar dari luka di punggung dan belakang kepalanya.

Dengan mengumpulkan segala tenaga, dia berjalan ke sudut kanan batu pipih dimana dia mendirikan pondoknya. Batu pipih itu sebagai halaman pondok darurat tersebut. Di pondoknya dia menyimpan ramuan obat-obatan. Obat yang dibuat dari ramuan daun dan kulit kayu. Dengan ramuan itu dahulu luka menganga bekas bacokan samurai Kapten Saburo Matsuyama dia obat.

Dengan susah payah dia masuk. Menggesekkan dua batu api dengan sisa tenaganya untuk memasang damar yang dibuat dari getah kayu. Dengan sedikit sisa tenaga, sebisanya dia pergunakan untuk menempelkan ramuan obat kering itu ke lukanya. Kemudian dia berbaring. Sakit, lelah dan tertidur.

Tiga hari dia diserang demam hebat. Tubuhnya panas dingin. Dia harus berjuang melawan maut. Untunglah daging macan tutul yang dia buat dendeng sangat membantu kesembuhannya. Daging macan itu berkhasiat melawan bisa dan racun. Daging itu juga membuat daya tahan tubuh melebihi manusia biasa. Dia mengunyah dendeng harimau itu sambil terbaring diam.

Hari keempat dia mulai berangsur sembuh. Namun masih belum mampu untuk berdiri. Tapi di pagi keempat dia bisa lagi menikmati kicau burung. Menikmati pekik siamang dan cericit burung punai dan balam, yang barangkali puluhan banyaknya di atas pohon rimbun dekat pondoknya. Burung-burung itu menyanyi di sana. Berlompatan dari cabang ke cabang. Memakan buahnya yang kecil-kecil.

Kini dia bisa tersenyum mendengar dendang sahabat-sahabatnya itu.Ya, selama belasan purnama di gunung ini, sahabatnya adalah hewan-hewan yang ada. Burung, tupai, beruk, siamang, kijang bahkan terkadang harimau dan ular. Sementara di kampungnya dia tak punya sahabat seorangpun. Kehadirannya pertama kali memang mengejutkan dan dimusuhi oleh penghuni-penghuni gunung tersebut. Mereka seperti sangat keberatan atas kehadiran pihak lain di tempat mereka yang selalu aman itu.

Tak jarang harimau dan ular berniat menerkamnya. Namun di bulan-bulan pertama itu, si Bungsu memilih diam saja di dalam pondoknya. Kalaupun dia keluar, itu hanya untuk berlatih di batu pipih di depan pondoknya. Kalau akan minum dia cukup pergi ke sudut selatan batu lebar tersebut. Di bahagian itu ada air mengalir dari batu di atas batu layah itu. Air itu nampaknya mengalir dari puncak gunung. Tak terlalu besar, namun airnya jernih, sejuk dan segar.

Di sudut selatan itu ada kolam kecil yang terbentuk karena tikaman air terjun, mungkin sudah ratusan tahun. Lebar kolam itu tak lebih dari tiga depa persegi, dengan dalam sedepa.  Di dalam tebat batu alam itu hidup ikan kecil-kecil. Tak lebih dari sebesar telapak tangan. Ikan-ikan yang alangkah indah warnanya. Ada yang hijau bercampur merah. Seperti bendera. Ada yang hitam dengan biru dan merah. Bergaris-garis seperti ragi kain. Ketika pertama kali dia mandi di dalam tebat itu, ikan itu berlarian ketakutan. Mungkin menyangka dia sejenis makhluk gergasi yang akan menelan mereka.Namun dari hari terbilang purnama, akhirnya ikan-ikan itu jadi sahabatnya. Jika dia mandi, ikan-ikan itu selalu bersamaan berenang dan membenturkan kepala mereka ke perut si Bungsu. Si Bungsu terpekik-pekik kegelian. Ikan-ikan itu mengulangi lagi tingkah mereka. Sebaliknya, lama-lama si Bungsu berhasil dengan mudah menangkap ikan tersebut. Terkadang dia berhasil menangkap empat ekor. Kecepatan tangannya terlatih berkat biasa dan diulang berkali-kali hari demi hari.

“Ku gulai kalian. Ku makan kalian dengan tulang-tulang kalian,” dia berseru sambil memegang ikan-ikan itu.

Ikan-ikan tersebut menggelepar-gelepar ingin melepaskan diri. Nampak seperti ketakutan. Dengan tertawa si Bungsu melepaskan ikan-ikan itu kembali. Dan mereka kembali berenang dan membenturkan diri ke perut si Bungsu. Terkadang menggigit daging perutnya. Membuat si Bungsu kembali terpekik-pekik. Demikian persahabatan aneh itu terjalin. Begitu juga dengan burung-burung. Tupai dan musang.

Ah, semuanya sangat indah. Seindah bila dia melihat ke kampung-kampung di bawah sana. Kalau siang dia lihat asap mengepul. Mungkin dari ladang, dan mungkin dari dapur di rumah. Dari batu pipih ini, dia dapat melihat dengan jelas kampung-kampung di kaki gunung Sago itu. Dia dapat melihat rumah atau kerlip lampu di malam hari dari Kampung Sikabu-kabu, Situjuh Ladanglaweh, Tungka, Manangkadok, Padangmangatas, Tabing, Sungaikumayang. Tanjungharo, Halaban atau si Tujuhbatur.

Dari atas sini semua kampung terlihat indah. Asap yang membawa harumnya jagung dari pembakaran di ladang-ladang. Dia sepertinya mencium bau harumnya jagung panggang. Atau nikmatnya rasa gelamai. Ah, semua rasanya menghimbaunya untuk segera turun. Namun dia harus bertahan beberapa waktu lagi di atas ini. Memang tak ada yang melarangnya untuk turun. Dia bisa pergi setiap saat bila dia mau. Namun yang menahannya adalah hatinya sendiri.

Dia tak akan turun sebelum dia merasa yakin akan mampu menuntut balas dendam keluarganya. Dia takkan turun sebelum dia yakin akan bisa menyaingi kemahiran Saburo Matsuyama mempergunaskan samurai dalam perkelahian. Dia harus mampu. Sebab ayahnya telah bersumpah untuk membalas dendam. Ayahnya telah bersumpah untuk membunuh Saburo dengan samurai.Sumpah ayahnya itu dia dengar nyata. Bukankah itu suatu isyarat padanya, agar melaksanakan perintah ayah yang tak pernah dia patuhi suruhannya selama ayahnya hidup? Dia harus melaksanakan niat ayahnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menebus segala dosa yang pernah dia buat pada si ayah. Semasa dia hidup dia tak pernah menyenangkan hati ayahnya. Kini setelah orang tua itu mati, dia ingin melaksanakan niat ayahnya. Dia ingin berbuat baik padanya.

Dari pondoknya tak jauh di depannya dia lihat dua ekor tupai bergelut bekejaran. Saling terkam, bergulingan. Lepas, terkam lagi, bergulingan lagi. Lambat-lambat dia melangkah keluar. Kedua tupai itu masih berlarian. Masih bergelut. Masih bergulingan. Meloncat. Melambung dan menerkam. Dia memperhatikan kembali dengan seksama. Gerakan itu seperti sengaja diperlihatkan kepadanya berulang-ulang. Dan gerakan itu telah dia tiru berkali-kali, sampai mahir. Ya, gerakan yang telah menyelamatkan nyawanya dalam perkelahian dengan Cindaku itu dia tiru dari gerakan dua tupai itu.

Suatu hari dia melihat keduanya berkelahi di cabang pohon. Berkelahi dengan sengit. Saling loncat, saling terkam. Bergulung dan melambung di cabang pohon. Namun tak seekorpun yang jatuh. Mereka nampaknya memiliki ilmu keseimbangan yang sempurna. Kemudian dia menirukan gerakan itu. Mula-mula sudah tentu tak berkelincitan. Tubuhnya berkelukuran. Namun berbulan-bulan setelah itu dia jadi bisa.

Dan anehnya, tanpa dia sangka kedua tupai itu ternyata memperhatikan setiap tingkah lakunya. Kemudian kedua tupai itu sering bergelut di batu layah itu. Seperti memberikan petunjuk dan pelajaran baru padanya. Dan tentu saja dia mengikutinya. Dan tupai-tupai itu kemudian menjadi “sahabat dan guru”nya.

“Terima kasih, saya akan ingat selalu atas pelajaran yang kalian berikan…” ujarnya suatu hari.

Kedua tupai itu menjilat kaki depan mereka. Kemudian meloncat pergi. Dia melambai meskipun tupai itu tak melihat lagi padanya. Dia menatap pada burung-burung yang bernyanyi di pohon. Menatap pada ikan-ikan kecil di tebat alam di atas batu itu. Menatap dan mencium dengan segenap rasa terima kasih bau harumnya hutan belantara itu.

Ini adalah hari-hari terakhir dia berada di gunung Sago itu. Dia tak pernah punya guru secara langsung. Gurunya adalah alam terkembang.

Dia lihat Jepang berkelahi mempergunakan samurai. Dia tiru gerakan itu. Dia lihat ayahnya berkelahi menikamkan samurai. Dia tiru cara mrnikaman samurai itu.

Dia lihat tupai berkelahi dan bergulingan. Dia tiru gerakan itu.

Tuhan menjadikan alam ini untuk dipelajari. Dan dia belajar banyak sekali padanya. Banyak hikmah tersembunyi di balik alam semesta ini. Hanya manusia yang tak mengetahui isyarat-isyarat yang dijadikan Allah Yang Maha Pencipta itu.

🤺🤺🤺🤺🤺
BERSAMBUNG

Standar

TIKAM SAMURAI

CERBUNG

EPISODE 005

    HILANG DITELAN BUMI

Sore itu hujan turun rintik-rintik. Membasahi kampung yang telah centang perenang itu. Hujan rintik-rintik itu juga seperti mencuci tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan. Tak ada orang lain di kampung itu yang kelihatan hidup. Mereka semua melarikan diri. Menyelamatkan nyawa mereka dari kebiadaban serdadu Jepang. Jepang memang punya alasan untuk menyikat kampung itu hingga rata dengan tanah. Sebab kampung itu merupakan basis pertama dalam sejarah perlawanan rakyat di Minangkabau terhadap kekuasaan Jepang. Dan setelah Datuk Berbangsa sekeluarga dibunuh, kampung itu menjadi kampung tinggal buat sementara.

Namun dari kesepuluh tubuh yang malang melintang itu ternyata masih ada yang hidup. Hujan rupanya mengembalikan kesadaran yang hidup itu. Di halaman rumah Datuk Berbangsa ada sosok tubuh yang bergerak. Mula-mula tangannya. Tubuh yang bergerak itu adalah si Bungsu!
 
Wajahnya tertelungkup rapat ke tanah. Dia rasakan punggungnya amat pedih dibasahi air. Dia masih terpejam. Namun tangannya digerakkan perlahan. Tercium bau tanah dan sawah yang harum dari angin yang bertiup dari kaki gunung Sago Terasa tetes air.

“Aku masih hidup…” bisik hatinya.

Dia mencoba bertumpu di tangan untuk membalikkan diri. Tapi alangkah sulitnya. Dia menelungkup lagi diam-diam. Mengumpulkan tenaga, kini dia membuka mata. Mula pertama yang kelihatan adalah tanah halaman rumah di mana di waktu kecil dia bermain kelereng dan main galah. Lalu di tanah itu dia lihat air yang memerah. Itu pastilah darahnya.

Dia coba kembali merekat ingatannya. Mulai dari dia ditangkap beberapa malam yang lalu dekat sasaran rahasia itu. Dia mengetahui sasaran rahasia itu tatkala mengikuti ayahnya disuatu malam. Sejak terakhir dilanyau Baribeh dan si Jul, dia ingin sekali belajar silat. Tapi dia malu mengatakan kepada ayahnya. Dia tahu ayahnya amat malu mempunyai anak seperti dia. Anak yang bikin malu keluarga. Ayahnya seorang pendekar dan guru silat. Tapi anaknya seorang penjudi yang pengecutnya Allahurobbi. Ini selalu menjadi tekanan bathin bagi si ayah di manapun dia berada.

Dan suatu malam dia mengikuti ayahnya dari kejauhan. Dia melihat orang-orang berlatih silat di sasaran. Dia tahu sasaran itu adalah untuk orang-orang yang tingkat kepandaian sudah tinggi. Dia kenal pesilat-pesilat itu semua. Makanya dia tak berani menampakkan muka. Dia hanya mengintip dari balik belukar. Mengintip cara mereka melangkah, membuka serangan. Menangkis dan meloncat.

Dia ingin sekali pandai bersilat. Tapi pada siapa dia akan belajar. Ayahnya sudah sering keluar. Nampaknya ada sesuatu yang penting yang diurus. Seperti menyusun suatu kekuatan melawan Jepang. Meski ayahnya tak ada di rumah. Si Bungsu tetap datang diam-diam ke sasaran itu tengah malam. Melihat orang berlatih. Bila orang selesai latihan, dia segera buru-buru duluan pulang agar tak ketahuan. Dan di rumah siang harinya, dia mencobakan gerakan yang dia lihat. Tapi alangkah sulitnya belajar tanpa guru. Sebab yang dia lihat bukanlah pelajaran dari awal. Melainkan pelajaran tingkat lanjut.

Hanya sepekan dia sempat melihat orang latihan itu. Malam terakhir adalah malam di mana Datuk Maruhun tertangkap oleh serdadu Jepang. Malam itu dia memang terlambat datang ke tempat pengintaiannya yang biasa. Dia terlambat karena hujan. Tetapi keinginan untuk belajar tetap menyala. Maka meski terlambat dan hujan masih turun, anak muda itu turun juga ke tanah. Dengan mengendap-endap dia mendekati sasaran rahasia itu. Dia melihat cahaya pelita yang samar-samar. Mendengar suara beradunya pedang dan keris. Dia lalu menyeruak ke dekat belukar kecil dimana biasanya dia mengintip.

Namun tiba-tiba ada tangan yang menyekap mulutnya. Dia ingin berteriak dan berontak. Tapi dekapan itu amat kuat. Dan tak lama setelah itu, Jepang-Jepang itu telah mengepung sasaran tersebut. Dan dia didorong ke tengah sasaran. Datuk Maruhun menyangka dialah yang membuka rahasia keberadaan sasaran ini kepada Jepang. Sangkaan itu juga sama dengan semua pesilat yang ada di sasaran itu. Mereka menyangka si Bungsu membuka rahasia itu demi mendapatkan uang untuk berjudi.

Malam itu dia menjelaskan duduk perkaranya pada Datuk Maruhun dan teman-temannya. Tapi adakah gunanya itu semua? Dia tahu bahwa orang kampungnya ini menganggap dia orang yang “runcing tanduk”. Datuk itu memang sudah lama juga tak senang padanya. Yaitu sejak dia tak perduli pada pertunangan dengan gadisnya yang bernama Renobulan itu. Itulah sebabnya dia memilih berdiam diri saja meski dimaki dan dikutuk orang-orang kampungnya.

Kini dia terbaring luka. Setelah merasa cukup punya kekuatan dia tidak berusaha untuk bangkit. Namun dia memutar tubuh dengan masih tetap menelungkup. Kepalanya kini menghadap ke rumah gadang di mana dia pernah lahir dan dibesarkan. Di halaman dilihatnya tubuh ayah dan ibunya tertelentang diam.

Dia mengumpulkan tenaga. Merangkak mendekati mereka. Dekat mayat ayahnya dia berhenti. Bangkit dan duduk merenung. Dia tatap mata ayahnya yang terbuka menatap langit. Dia tutupkan mata ayahnya itu. Dia merasa malu lama-lama berada dekat mayat ayahnya. Malu karena perbedaan yang alangkah jauhnya antara dia dan si ayah. Ayahnya seorang Penghulu yang dihormati penduduk. Seorang guru silat yang jarang tandingannya.  Tapi tiba pada dirinya, ternyata hanya mendatangkan aib bagi nama baik ayah dan keluarganya. Dia teringat pada ucapan ayahnya tatkala turun dari rumah. Yaitu ketika dia memanggil ibunya. Saat itu ibu, ayah dan kakaknya tertegun di tangga.

“Engkau memang dilahirkan untuk jadi Dajal, Buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau. Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami untuk kau jual?” Suara ayahnya seperti bergema lagi.

Dia tersentak kaget. Ayahnya pasti telah mendengarnya pula dari Datuk Maruhun atau dari orang lain, tentang perjumpaan mereka di sasaran rahasia itu. Pastilah ayahnya juga menduga seperti dugaan Datuk Maruhun dan teman-temannya, bahwa dialah yang membocorkan rahasia sasaran itu pada Jepang. Hatinya jadi amat terpukul.

Lambat-lambat dia bergerak ke dekat mayat ibunya. Wajah ibunya kelihatan tenang. Hatinya jadi luluh. Kepalanya menoleh ke rumah. Di jendela dilihatnya mayat kakaknya masih terkulai. Dia ingin menangis. Namun dia tak tahu bagaimana cara menangisi malapetaka yang begini dahsyat.

Kalau salah satu saja dari keluarganya yang mati, mungkin dia bisa menangis. Tapi kini ketiga mereka. Dia hanya sebatang kara kini. Bagaimana caranya dia harus menangisi kemalangan ini? Kemalangan yang bagaimana pula yang telah menimpanya, sehingga untuk menangis saja dia tak tahu bagaimana caranya?

Tiba-tiba tangan ibunya bergerak perlahan. Perlahan sekali. Namun dia melihatnya dengan jelas.

“Ibu . .” panggilnya perlahan sambil mengangkat kepala perempuan separoh baya itu.

Hatinya berdebar. Lama tak ada jawaban. Tapi setelah itu, kelopak mata perempuan itu terbuka. Perempuan itu menjilat air di bibirnya. Tangannya perlahan terangkat. Mengusap pipi anaknya.

“Ibu …”

“Bungsu, engkau kini tinggal sendiri nak. Hati-hati menjaga diri. . .”

Perempuan itu terhenti. Kembali menjilat air di bibirnya. Kemudian terdengar lagi suaranya mendesah.

“Ayahmu ingin engkau menjadi anak yang baik .” Perempuan itu terhenti lagi.

Dia seperti mengumpulkan tenaga terakhir. Nampaknya dia memang menunda datangnya maut untuk bisa bicara dengan anak bungsunya ini.

“Bungsu, anakku. Kata orang engkau membocorkan rahasia sasaran itu pada Jepang agar mendapatkan uang untuk berjudi. Tapi ibu tak percaya. Ibu tak percaya engkau melakukan hal itu. Ibu yakin engkau tetap anak yang baik. Katakanlah Bungsu. . … bahwa engkau tak pernah mengkhianati ayah dan orang kampungmu .”

Perempuan itu terhenti. Matanya terpejam lagi. Nafasnya tinggal satu-satu. Namun dia berusaha membuka matanya, untuk melihat wajah anaknya. Untuk melihat dan mendengar jawaban anaknya.

Si Bungsu ingin bicara. Banyak sekali yang ingin dia sampaikan. Tapi kerongkongannya rasa tersumbat. Dia hanya mampu menggeleng dan menggenggam tangan ibunya, menciumnya. Pipinya basah oleh air mata. Si ibu seperti dapat membaca yang tersirat di fikiran anaknya. Meskipun anaknya tak bicara sepatahpun, hanya menggeleng, tapi naluri seorang ibu dapat membaca apa yang terkandung di hati anaknya. Perempuan itu seperti tersenyum. Matanya terpejam. Kepalanya terkulai. Dan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam hujan rintik yang makin lebat itu.

Seorang ibu sejati telah mati. Ibu yang tak membedakan kasih terhadap anak-anaknya. Di antara anak-anaknya yang pandai dan yang bodoh, di antara anak-anaknya yang gagah dan yang cacat, di antara anak-anaknya yang berbudi dan yang jadi jahanam, seorang ibu tetap berbagi kasih sama besarnya. Seorang ibu tetap menginginkan kebahagiaan yang sama untuk semua anaknya.

Dan sore itu si Bungsu merasakan betapa sebenarnya dia memerlukan kasih sayang seorang ibu. Dia rasakan justru setelah ibunya meninggal dunia. Dia membutuhkan bimbingan dan kasih sayang seorang ayah. Justru setelah ayahnya meninggal. Dia membutuhkan kasih sayang seorang kakak. Justru dia rasakan setelah kakaknya meninggal.

 Alangkah tragisnya nasib manusia ini. Memang benar kata orang, bahwa setiap anak takkan menyadari betapa dia sebenarnya membutuhkan kasih sayang ibu dan ayahya, ketika si ibu dan si ayah masih hidup.

Hari kedua sejak peristiwa berdarah itu, si Bungsu masih duduk di sana. Di halaman rumah gadangnya. Di antara puing reruntuhan rumah-rumah di kampungnya itu. Dia duduk dengan kepala ibu di pahanya. Sampai hari ketiga dia tak mampu bergerak dari sana. Luka di punggungnya amat nyeri. Untung udara dingin dan hujan banyak menolong lukanya. Tak ada lalat yang merubungi.

Barulah di hari ketiga dia berusaha bangkit dengan tubuh seperti akan tercabik dua. Dia harus mengubur mayat ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga harus mengubur mayat tujuh orang lelaki, perempuan dan seorang anak-anak lainnya di kampung itu. Sebab tak ada manusia seorangpun di sana. Mereka telah lari mengungsi.

Hujan lebat yang turun beberapa hari jua yang menyebabkan tanah jadi lembut dan mudah digali. Dengan mengatupkan gigi, dia mencabut Samurai yang tertancap tegak di dada kiri ayahnya. Kemudian dia mulai menggali tanah di dekat jasad ayahnya itu dengan samurai tersebut.

Mayat ayah dan ibunya hanya berjarak sedepa. Dia menggali di tengah kedua orang itu. Kemudian memasukkan mayat ibu bapanya ke satu lobang.Hari kelima baru dia selesai mengubur seluruh jenazah di kampung itu. Mereka dia kubur sekedarnya. Sekedar tertimbun dan hilang tak berbau dan mudah-mudahan tak digali hewan. Mereka dia kubur di dekat mayatnya terbaring. Ada yang di dekat tangga seperti kakaknya. Ada yang di tengah halaman seperti ibunya. Ada yang di bawah pohon seperti beberapa tetangga lainnya. Dia harus menguburkan mereka semua. Meskipun semasa hidupnya, mereka membencinya Dia tak punya rasa dendam sedikitpun terhadap orang kampungnya ini.

Hari keenam, dia melangkah entah kemana. Hari sudah senja. Dia berjalan tertatih-tatih. Hujan dan udara sejuk telah menyelamatkan luka dipunggungnya yang lebar untuk tak lekas membusuk. Dalam perjalanan, tiba-tiba dia menyadari bahwa selain untuk menggali kubur, dia juga mempergunakan Samurai yang tertancap di dada ayahnya sebagai tongkat penyangga agar tubuhnya tak rubuh. Tak dia ingat kapan masanya dia memungut sarung samurai itu. Tapi yang jelas kini dia memegangnya.

Semula dia berniat untuk membuang samurai itu. Dia memotong sebuah kayu sebesar lengan. Tapi tiba-tiba dia tertegun. Suara dan sumpah ayahnya sesaat sebelum roboh setelah dihantam Samurai Saburo, terngiang kemballi.

“Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu sumpahku………Saburo….!”

Tangannya menggigil mengingat sumpah itu. Dan tiba-tiba dia membuang kayu yang baru dia ambil. Dia memegang samurai di tangannya kuat-kuat. Kemudian mulai melangkah. Entah kemana dia. Tak seorangpun yang tahu.

Berbulan-bulan setelah itu, ketika suasana sudah agak aman, orang-orang Situjuh Ladang Laweh, kampung Datuk Berbangsa, kembali pulang satu demi satu dari pengungsian mereka.Mereka mendapatkan kuburan-kuburan yang tak beraturan korban pembantaian yang menyebabkan mereka lari mengungsi. Mereka menggali kembali kuburan-kuburan itu, dan menguburkan di pekuburan kaum.

Mereka bertanya-tanya tatkala tidak menemukan mayat si Bungsu. Padahal beberapa orang di antara mereka melihat dengan jelas betapa anak muda celaka itu mampus dibabat samurai Kapten Saburo. Tapi kemana mayatnya? Kalau mayatnya tak ada, siapa yang telah menguburkan mayat-mayat ini? Apakah dia tak mati, kemudian dialah yang menguburkan semua jenazah ini? Tak mungkin. Anak muda itu tak mungkin mau berbuat kebajikan apapun untuk negeri ini. Sebab ayahnya saja dia khianati. Bukankah sasaran rahasia itu ayahnya yang memimpin? Dan bukankah dia pula yang menjual rahasia itu pada Jepang hingga semua mereka tertangkap dan terbunuh? Tak mungkin dia yang menguburkan jenazah itu.

“Barangkali bangkainya memang tak dikuburkan oleh orang. Sebab orang yang menguburkan ini mungkin tahu bahwa dia seorang jahanam. Dan jenazahnya tetap ditinggalkan, lalu akhimya habis dimakan anjing atau harimau yang datang dari gunung sana. ” seorang lelaki bicara.

Dan pendapat inilah yang paling banyak mempercayainya. Bagi orang kampung, anak muda itu memang lebih baik mati diterkan harimau daripada hidup membuat malu negeri. Anak muda itu dianggap sudah terkubur di perut binatang. Tak peduli anjing, harimau atau biawak. Dia lenyap seperti ditelan bumi dan tak seorangpun mencoba mengingatnya, kecuali tentang yang buruk-buruk.

Kehidupan kampung di pinggang gunung Sago yang terletak jauh dari kota Payakumbuh itu kembali seperti biasa. Serdadu Jepang tak pernah lagi datang ke sana. Namun itu bukan berarti bahwa serdadu Jepang telah menghenti¬kan kekejamannya di Minangkabau. Tidak. Kekejaman orang-orang bermata sipit dan bertubuh tambun dan pendek ini hampir merata dirasakan oleh penduduk di kota maupun pedesaan di pinggir kota yang ditempati oleh tentara Jepang. Situjuh Ladang Laweh mereka lupakan karena pejuang-pejuangnya telah mati. Datuk Maruhun, kabarnya mati di Logas. Begitu juga teman-temannya.

🤺🤺🤺🤺🤺
BERSAMBUNG

Standar

Tikam Samurai

CERBUNG

EPISODE 004

      KUTUKAN DATUK       BERBANGSA

Seorang Kapten yang memimpin pengepungan itu bernama Saburo Matsuyama, tampil ke depan. Wajahnya kelihatan angkuh sekali. Bibirnya tertarik ke bawah dengan garis-garis wajah yang keras dan kuat. Semua penduduk dikumpulkan. Tua muda lelaki dan perempuan.
Saburo lalu berpidato dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak tak dimengerti orang kampung itu.

“Ini sebuah contoh dan peringatan bagi orang-orang yang coba melawan balatentara Kaisar dari Negeri Matahari Terbit. Jika setelah ini ada seorang serdadu Jepang mati oleh penduduk pribumi, maka akan dibalas dengan membunuh tiga orang penduduk pribumi. Jika tak ada lelaki, maka perempuan yang akan dibunuh. Jika tak ada, anak-anak kami jadikan gantinya. Ingat itu baik-baik. Kalau di antara kalian ada yang mata-mata, sampaikan ucapan saya ini pada orang-orang yang menyusun kekuatan untuk melawan kami, yang kini bersembunyi entah di mana.”

Keempat lelaki itu disuruh berjongkok. Perempuan dan anak-anak mulai bertangisan. Dan dengan suatu komando, empat orang serdadu Jepang segera berdiri di belakang keempat lelaki itu. Di tangan keempat serdadu itu tergenggam sebuah Samurai. Sebuah komando dalam bahasa Jepang terdengar bergema. Dan dalam sekejap, keempat kepala lelaki itu terpisah dari tubuhnya. Beberapa perempuan jatuh terjerembab ke tanah menyaksikan kebuasan ini. Beberapa anak-anak memekik-mekik.

Tiba-tiba seorang serdadu datang berlari dan berbisik ke telinga Kapten Saburo. Kapten itu tertegak dan melihat ke Utara. Dia lalu memerintahkan penduduk bubar dan memberi aba-aba pada pasukannya. Sekitar tiga puluh ser¬dadu segera berhamburan ke Utara. Dalam sekejap mereka kini telah mengepung sebuah rumah. Rumah itu adalah sebuah rumah adat yang besar, rumah si Bungsu.

Saburo segera tampil ke halaman rumah yang telah dikepung ketat itu. Dia menghadap ke atas anjungan.

“Kalian telah terkepung. Keluarlah!. Kalau kalian tak keluar dalam lima menit, saya akan membakar rumah ini !!” seru Komandan tentara Jepang itu.

Beberapa penduduk memberanikan diri melihat kejadian itu dari kejauhan. Mereka tidak mengerti siapa yang disuruh keluar oleh Jepang itu. Sebab setahu mereka Datuk Berbangsa sudah lari subuh tadi bersama anak isterinya.

Sementara itu, si Bungsu yang tadi tegak di antara penduduk, kini menyeruak ke depan di antara barisan penduduk yang melihat dari kejauhan itu. Wajahnya yang biasa murung kini jadi pucat. Dia menatap ke rumahnya dengan tegang. Dan benar, tak lama kemudian kelihatan ayahnya, Datuk Berbangsa, muncul di pintu. Menyusul ibu dan kakaknya.Melihat ayah, ibu dan kakaknya itu, si Bungsu berlari ke depan.

“Ibu…. !!” himbaunya.

Tapi seorang serdadu Jepang menghantamnya. Dia tersungkur di tanah. Ayah, Ibu dan kakaknya tertegun. Mereka mamandang padanya dengan tatapan tak berkedip. Ada jarak dua puluh depa antara dia tertelungkup dengan ayah dan ibu serta kakaknya. Namun dia serasa dapat merasakan panasnya tatapan mata keluarganya. Terutama sekali tatapan ayahnya.

“Engkau memang dilahirkan untuk menjadi Dajjal, Buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau! Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami dan kau jual?” suara ayahnya terdengar bergema tajam.

Si Bungsu tertegak kaku. Bulu tengkuknya merinding mendengar ucapan ayahnya itu. Mulutnya bergerak ingin bicara. Namun tak satupun suara yang keluar dari mulutnya. Dia menatap ayahnya. Menatap ibunya. Menatap kakaknya. Akhirnya dia menatap pada ibunya. Perempuan itu tegak dengan gagah. Menatap padanya dengan kepala tegak.

“Bungsu, barangkali banyak dosamu. Tapi Ibu tak menyesal melahirkanmu, Nak!”
  
Si Bungsu merasakan dirinya tiba-tiba jadi luluh. Dia seperti dapat melihat air mata ibunya meleleh. Demikian juga air mata kakaknya. Dirinya tiba-tiba jadi kecil di hadapan keluarganya yang gagah perkasa ini. Dan tiba-tiba dia jatuh berlutut.

Saat itu Datuk Berbangsa bersuara, ucapannya ditujukan kepada Kapten Saburo.

“Saya bersedia ditangkap. Tapi isteri dan anak saya, harap dibebaskan. . .”

“Heh, setelah kau bunuh sembilan orang serdadu kami, kau minta keluargamu dibebaskan he? Bagero!”

“Kalau tak ada jaminan itu, saya takkan menyerah!” Datuk Berbangsa berkata dengan suara yang pasti.

Saburo mengagumi sikap jantan lelaki itu. Namun dia tertawa terbahak.

“He…he….ha! Apa yang kau banggakan, sehingga kau berani mengatakan bahwa kau bisa tak menyerah Datuk”.

 “Saya akan berkelahi sampai mati!”

“Siapa yang kau sangka bersedia mati konyol bersamamu?”

“Jangan lupa, Anda seorang Samurai. Saya tahu, seorang Samurai sejati takkan menampik tantangan berkelahi dari orang lain!”

Saburo terdiam. Matanya menatap tajam pada Datuk itu.

“Atau barangkali serdadu Jepang yang datang kemari adalah Samurai-samurai pengecut yang mengabaikan sikap satria sebagaimana layaknya Samurai sejati?”

“Diam kau! Jangan sembarang berkata. Tidak ada di antara kami yang tidak berjiwa Samurai. Kau takkan pernah saya bebaskan. Kalaupun kau memilih bertarung dengan salah seorang samurai, kau juga tetap takkan bisa memenangkan perkelahian. Tak ada di antara kalian yang akan mampu mengalahkan ilmu Samurai kami. Ilmu silat kalian masih terlalu rendah untuk berhadapan dengan kecepatan Samurai.”

“Kebenarannya akan kita buktikan sebentar lagi!” Datuk Berbangsa menjawab dengan tenang dan pasti.

Saburo yang berang segera memberi perintah. Enam orang serdadunya segera meletakkan bedil panjang mereka. Kemudian membentuk lingkaran besar di halaman rumah gadang tersebut.
Datuk Berbangsa yang terkenal sebagai Guru Silat Kumango itu melangkah dengan pasti ke tengah lingkaran. Dia tak bicara sepatahpun pada isteri dan anak gadisnya. Nampaknya mereka sudah bicara saat bersembunyi di loteng.

Datuk ini memang seorang yang bernasib malang dalam pelariannya. Tengah malam tadi dia sampai kemari bersama Datuk Maruhun dan teman-temannya. Mereka menyudahi nyawa kelima serdadu Jepang yang berpos di surau. Kemudian dia mengatur pengungsian keluarga-keluarga pelarian dari penjara itu. Ada sepuluh keluarga yang harus diungsikan keluar kampung ini. Kalau mereka tidak diungsikan, mereka pasti ditangkap dan disiksa. Tanpa mereka sadari, ketika pengungsian itu selesai, hari telah hampir siang. Orang terakhir yang meninggalkan kampung itu adalah Datuk Maruhun dan keluarganya.

“Duluanlah. Saya menyusul . .” ujar Datuk Berbangsa kepada Datuk Maruhun.

Dia tak dapat segera melarikan diri bersama Datuk Maruhun disebabkan isterinya sakit. Dia telah diminta oleh isterinya untuk lari duluan bersama anak gadisnya. Namun Datuk Berbangsa menolak. Mana mau dia meninggalkan isterinya. Dan anak gadisnya juga tak mau meninggalkan ibunya. Padahal si Ibu tak begitu parah sakitnya. Perempuan ini sebenarnya tak mau pergi dari kampung itu karena dia masih menunggu seorang anak lagi, si Bungsu. Dia tahu suaminya tak menyukai si Bungsu. Tapi dia seorang Ibu. Bagaimana dia bisa membenci anak yang dia lahirkan, yang dia kandung selama sembilan bulan, yang dia susui dari kecil, yang dia besarkan dengan air mata dan keringat? Dia mengakui anaknya yang seorang itu tak bisa dididik. Tapi bagaimana seorang Ibu akan membenci anaknya?

Demikianlah hati seorang Ibu. Jika sangat terpaksa… sekali lagi jika sangat terpaksa, dia lebih rela kehilangan suami dari pada kehilangan anaknya.

Karena hari telah siang, untuk melarikan diri tak mungkin lagi. Mereka khawatir akan bertemu dengan patroli Jepang. Mereka lalu memutuskan untuk bersembunyi di loteng rumah. Bersembunyi dan menanti malam berikutnya datang. Sementara itu, si Ibu tetap berharap, agar siang ini si Bungsu pulang. Dia akan membujuk suaminya untuk membawa serta anaknya itu mengungsi.

Namun nasib mereka memang sedang malang. Persembunyian mereka diketahui oleh serdadu yang tadi memeriksa rumah itu. Serdadu itu melihat tangga naik ke loteng. Tangga itu rupanya tak ada yang membuang. Sebab semua sudah naik ke loteng. Siapa lagi yang akan membuang tangga?

Waktu sudah kasip. Jepang sudah memasuki kampung. Maka mereka tetap bertahan di loteng itu sambil berdoa. Perkelahian seperti yang akan dihadapi Datuk Berbangsa ini juga sudah diperhitungkan tatkala tadi mereka disuruh turun oleh Saburo. Dari pada mati di Logas atau mati ditembak di penjara, lebih baik mati secara satria dalam perlawanan. Begitu mereka putuskan.

Dan kini, Datuk itu tegak di tengah lingkaran tersebut. Tegak dengan dada busung dan tangan terkepal. Kapten Saburo memberi isyarat. Seorang Jepang berpangkat sersan maju. Tubuhnya besar berdegap. Di pinggangnya terdapat sebuah Samurai.

“Kau boleh memilih senjata Datuk …,” kata Saburo.

“Terima kasih. Saya dilahirkan oleh Tuhan lengkap dengan bekal untuk melawan kekerasan dengan tulang yang delapan kerat.” suara Datuk itu terdengar perlahan.

Si Bungsu menegakkan kepalanya. Menatap tak berkedip pada ayahnya yang tegak berhadapan dengan serdadu Jepang itu. Serdadu itu memberi hormat dengan membungkukkan badan sebagaimana layaknya orang-orang Jepang menghormat. Datuk Berbangsa tegak dengan dua kaki dirapatkan. Tatapannya lurus ke depan. Dia berdoa dengan kedua tangannya menampung ke atas. Kemudian tangan kanan meraba dahi, dan tangan kiri meraba dada di tentang jantung. Setelah itu memberi hormat dengan tegak lurus dan kedua telapak tangan dirapatkan di depan wajah. Dia memberi hormat dengan cara penghormatan Silat Tuo Pariangan. Yaitu silat induk yang menjadi ibu dari silat-silat yang ada di Minangkabau.

“Engkau boleh menyerang duluan Datuk……,” Saburo berkata.

Datuk Berbangsa tetap tegak dengan tubuh condong sedikit ke depan. Matanya melirik ke tangan kanan Jepang besar di hadapannya. Semua orang pada terdiam. Tak terkecuali Kapten Saburo sendiri. Ada sesuatu yang membuat Kapten ini iri pada Datuk itu. Yaitu keyakinan pada kemampuan dirinya. Dia sudah banyak menyaksikan kehebatan penduduk pribumi di Indonesia ini. Namun jarang yang punya keyakinan atas dirinya seperti Datuk ini. Biasanya sesudah tertangkap, orang lalu berhiba-hiba minta ampun. Jika perlu dengan membuka semua rahasia atau menjual harga dirinya. Tapi tak demikian halnya dengan Datuk ini. Dia menantang berkelahi bukan karena dia kalap dan nekad. Tapi karena dia memang seorang satria sejati.

Saat itu Datuk Berbangsa tengah melihat betapa tangan kanan Jepang itu mulai bergetar dan secara perlahan pula, hampir-hampir tak kelihatan, bergerak mili demi mili mendekati gagang samurainya. Ini adalah gerakan pendahuluan. Tiba-tiba tangan itu bergerak cepat. Dan saat itu pula Datuk Berbangsa melompat ke kiri kemudian berguling di tanah dan tumitnya menghantam siku kanan Jepang itu. Sungguh sulit untuk diceritakan.

Kejadiannya demikian cepat. Demikian fantastis. Hampir-hampir tak bisa dipercaya. Gerakan Samurai yang terkenal cepat itu terhenti tatkala samurainya baru keluar separoh. Siku si tinggi besar itu kena dihantam tumit Datuk Berbangsa. Terdengar suara berderak. Jepang itu terpekik. Sikunya patah.

Dia mencabut samurainya dengan tangan kiri. Tapi gerakan ini juga terlambat. Guru Silat Kumango itu telah mengirimkan sebuah tendangan lagi ke selangkangnya. Tubuh Jepang itu terangkat sejengkal, kemudian tertegak lagi di tanah. Mula-mula hanya agak hoyong. Masih berusaha untuk tetap tegak. Tapi Datuk Berbangsa telah tegak dan mengirimkan sebuah pukulan dengan sisi tangan kanannya ke leher Jepang itu.

Itu adalah sebuah serangan yang disebut “Tatak Pungguang Ladiang” dari jurus Kumango yang terkenal ampuh. Tetakan dengan sisi tangan itu mendarat di leher Jepang tersebut. Begitu suara berderak terdengar, begitu nyawa Jepang itu berangkat ke lahat. Tubuhnya rubuh ke tanah tanpa nyawa. Hanya dalam sekali gebrak, serdadu Jepang itu mati!

Beberapa saat suasana jadi sepi. Benar-benar sepi.Keenam serdadu yang membuat lingkaran besar itu ternganga. Kapten Saburo sendiri hampir-hampir tak mempercayai matanya. Lelaki pribumi ini telah membunuh seorang samurai dari Jepang hanya dengan tangan kosong. Mungkinkah ini? Apakah ini tidak semacam sihir?

Tapi ini memang kejadian. Dia tak melihat lelaki itu mempergunakan sihir sedikitpun. Serangan itu benar-benar sebuah serangan silat yang telak dan tangguh dari silat aliran Kumango.

Kini Datuk Berbangsa tegak dengan kaki dipentang. Tegak dengan gagah menatap kepada Kapten Saburo. Kapten itu memberi aba-aba dalam bahasa Jepang. Dua orang serdadu maju ke depan. Kedua mereka juga menyisipkan samurai di pinggang. Mereka kembali saling memberi hormat. Ini adalah perkelahian kaum satria. Salah satu dari Jepang yang maju ini bertubuh pendek dan kurus. Gerakannya gesit sekali. Yang satu lagi agak tinggi dengan tubuh sedang. Begitu habis memberi hormat, begitu dengan cepat sekali mereka menghunus samurai dan menyerang.

Datuk itu berbarengan diserang dari muka dan belakang. Saburo dengan jelas sekali melihat kedua prajuritnya masing-masing mengirim serangan tiga jurus. Berarti Datuk itu diserang enam jurus dalam gebrakan pertama saja. Enam bacokan yang cepat dan terarah. Namun ketika kedua Jepang itu kembali tegak dengan diam sambil memegang samurainya, Datuk itu juga tegak tiga depa dari mereka dengan diam dan tak kurang satu apapun. Luar biasa !

Tanpa dapat ditahan dan diluar sadar, beberapa serdadu Jepang yang menyaksikan pada bertepuk tangan. Saburo harus mengakui, bahwa Datuk itu memang patut mendapat tepuk tangan dari serdadu.

Tatkala kedua serdadu itu tadi menyerang, Datuk Berbangsa segera bergulingan ke tanah. Dua kali bergulingan dia berhasil menghindarkan dua bacokan. Kemudian seperti kucing dia melompat bangun dengan gerakan seenteng kapas. Lompatannya tinggi dengan kaki dilipat. Dengan gerakan yang diperhitungkan ini, empat bacokan berhasil pula dia elakkan. Gerakan selanjutnya dia melompat dan menunduk sambil memutar. Gebrakan pertama berakhir.

Kini mereka saling menatap. Yang bertubuh agak sedang lambat-lambat mengingsut tegaknya. Telapak kakinya beringsut di pasir mili demi mili. Kedua tangannya dengan kukuh memegang hulu samurai. Kini jarak mereka hanya tinggal sedepa. Datuk Berbangsa memiringkan tubuh dengan jari kanan lurus di depan dada dan sudut mata memandang pada mata Jepang itu. Mereka tegak bertatapan.

Tiba-tiba dengan sebuah pekik Bushido, sejenis pekik khas para pesilat Samurai, serdadu itu membuka serangan. Namun ternyata Datuk Berbangsa lebih cepat lagi. Dia ternyata cepat menangkap jurus-jurus Samurai. Setiap samurai pasti mengawali gerakannya dengan membawa samurai itu agak ke kanan atau ke kiri sedikit. Gerakan ini diperlukan untuk memberi kekuatan hayun bagi samurai itu bila dibacokkan. Hanya saja, makin tinggi kepandaian seorang samurai, makin tak kelihatan gerak mengambil ancang-ancang itu. Dan makin cepat dan halus pula gerakannya.  Jepang ini gerakannya cukup cepat. Namun tak begitu cepat di mata Datuk yang guru silat Kumango ini.

Sebagaimana jamaknya pesilat-pesilat tangguh, dia tidak melihat pada gerakan senjata lawan. Dia menatap langsung ke mata serdadu itu. Di sana pesilat-pesilat tangguh dapat membaca kemana gerakan tangan dan kaki setiap lawan. Itulah yang dilakukan oleh Datuk Berbangsa. Begitu tangan Jepang itu bergerak, dia segera mengetahui bahwa tangan Jepang ini akan bergerak sedikit ke kanan.Dan kesempatan yang sedikit itulah yang dinantinya. Sebelum gerakan itu sempurna, dengan kecepatan loncatan seekor harimau tutul, dia melesat ke arah Jepang itu. Dan sebelum Jepang itu sadar apa yang terjadi, Datuk Berbangsa telah memiting leher Jepang tersebut. Kemudian dengan gerakan yang sempurna dia meremas kedua tangan si Jepang yang memegang Samurai. Jepang itu terpekik.

Saat itulah temannya yang seorang lagi sadar bahwa bahaya tengah mengancam temannya, dia lalu diam-diam menyerang dari belakang. Namun Datuk Berbangsa memutar Jepang yang masih dia piting itu. Jepang itu dia jadikan sebagai perisai. Sementara serdadu itu tak berdaya menggerakkan samurainya, karena tangannya tengah dicengkam amat kuat. Si kurus tidak bisa berbuat banyak. Dia harus hati-hati agar serangannya tak mengenai kawan sendiri. Mereka berputar-putar sejenak.

Suatu saat Jepang itu berputar dengan cepat. Karena tengah memiting lawan, Datuk Berbangsa tidak dapat bergerak lincah. Dia kurang cepat berputar. Saat itulah serangan Jepang itu datang dari belakang. Namun kembali suatu keajaiban terjadi. Datuk Berbangsa kiranya sengaja memancing dengan membiarkan lawannya ke belakangnya. Dan ketika angin serangan samurai itu datang, dia meluncurkan dirinya ke bawah. Menjatuhkan diri dan bertekan di tanah dengan lutut kanan. Samurai lawannya yang dia piting itu tiba-tiba berpindah ke tangannya. Dalam suatu gerakan yang sempurna samurai di tangannya dia tikamkan ke belakang tanpa menoleh sedikitpun.

Tapi lawan di belakangnya bukan pula sembarang samurai. Gerakannya ternyata amat cepat. Meski Datuk Berbangsa sempat selamat dari bacokan yang fatal, namun tak urung punggungnya robek sehasta. Mulai dari bahu kanan mereng ke lambung kiri. Darah membanjir. Dan saat itu pula Jepang yang menyerang dari belakangnya itu terhenti dan terpekik. Samurai kawannya yang berhasil dirampas dalam suatu gerakan yang disebut Piuh-pilin dari jurus Kumango yang sempurna dan dihujamkan ke belakang oleh Datuk Berbangsa, kini menancap hampir separohnya ke dada Jepang itu. Samurai itu tembus dan menyembul keluar dari baju di punggungnya.

Semua Jepang yang ada di sana jadi tertegun kaget dan kagum akan kehebatan perkelahian itu. Belum pernah mereka melihat perkelahian antara pribumi memakai samurai sedahsyat ini. Belum sekalipun.

Datuk ini benar-benar memiliki ilmu silat yang tangguh, pikir mereka. Jepang bertubuh kecil itu masih tertegak diam. Matanya berputar. Dia tegak setengah hasta di belakang Datuk Berbangsa yang masih memegang samurai itu dengan kuat. Lambat-lambat Jepang itu mengangkat samurai di tangan. Dan menebaskannya ke leher Datuk Berbangsa yang masih tetap berlutut membelakanginya. Namun gerakan Jepang itu hanya sampai mengangkat samurai saja. Setelah itu gerakannya terhenti tiba-tiba. Dan tubuhnya rubuh ke belakang. Mati!
  
Semua orang terdiam.Tapi isteri Datuk Berbangsa terpekik melihat darah di punggung suaminya. Dia berlari menghambur ke tengah lingkaran. Tapi Kapten Saburo Matsuyama menganggap sudah cukup memberi angin pada Datuk itu. Dalam marahnya yang luar biasa, dia mencabut samurai dan di saat isteri Datuk itu lewat di sampingnya, samurai itu beraksi. Isteri Datuk itu tersentak, tapi dia masih tetap melangkah ke arah suaminya. Tubuhnya telah hoyong tatkala mencapai suaminya.

“Uda….perempuan itu rubuh ke pangkuan suaminya.

“Jahannam…….Jepang jahannaam!” Datuk Berbangsa memekik.

Dan meletakkan isterinya di tanah. Dengan punggung robek dia tegak menghadapi Kapten Saburo.

Saburo dengan mata yang nyalang menatapnya. Kini Datuk itu menyerang duluan. Tetapi mungkin karena keahlian Saburo memang jauh lebih tinggi dari pada anak buahnya, atau mungkin pula karena Datuk itu dalam keadaan luka, perkelahian mereka kelihatan tak seimbang.

Datuk Berbangsa memegang samurai dengan menghadapkan ujungnya ke belakang, dia menikamkannya ke arah Saburo. Sebuah tikaman ke belakang yang tadi telah menghabisi nyawa serdadu yang menyerangnya dari belakang. Sabetannya yang pertama, yang mengarah ke depan, membunuh serdadu yang tadi dia piting lehernya. Tapi tikaman samurai ke belakang itu tak mengenai sasaran.

Saburo menghayunkan samurai dalam tiga serangan berantai. Datuk Berbangsa menangkisnya. Namun serangan tiga serangkai itu merupakan serangan tangguh. Begitu dia menangkis sabetan samurai Saburo, dia merasakan tangannya kesemutan. Tanpa dapat dia cegah, samurai di tangannya lepas.

Bukan main hebatnya tehnik dan tenaga Saburo.Samurai itu melayang ke udara. Datuk Berbangsa tak mau menanti. Dia mengirim sebuah tendangan. Dan tendangan itu tak diduga sedikitpun oleh Saburo. Kapten itu terjajar ke belakang karena perutnya kena hajar tumit Datuk Berbangsa. Dia jatuh berlutut. Dan saat itu samurai yang tadi terlambung meluncur turun ke atas kepala Saburo.Tapi perwira Jepang ini memang seorang samurai pilihan. Dia mendengar desiran angin samurai yang menghunjam ke arah kepalanya itu. Tanpa menoleh ke atas, dia memutar samurai di atas kepalanya. Dan samurai itu kena dipapas, dan dengan amat laju melayang ke arah Datuk Berbangsa.

Datuk itu coba mengelak, namun samurai tersebut terlalu cepat. Dan karena dia coba mengelak, tubuhnya miring ke kiri.

Dan crepp!!

Samurai itu menancap separoh ke dada kirinya. Menembus jantung! Tembus ke punggung! !

Datuk Berbangsa tertegak. Dia tak mengeluh sedikitpun. Si Bungsu terlonjak.

“Ayaaah !!!” pekiknya, namun dia takut untuk bangkit.

Ayahnya tak menoleh ke arahnya. Lelaki tua perkasa dan keras seperti baja itu lambat-lambat jatuh di atas kedua lututnya. Matanya masih menatap Saburo.

“Beginikah sikap satria seorang samurai yang dibanggakan itu? Membunuh seorang perempuan dan menghantam orang yang luka?” Datuk Berbangsa bertanya dengan tatapan mata yang membuat hati Saburo jadi ciut.

Datuk itu bicara lagi, perlahan :
“Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu sumpahku………Saburo….!”

Ucapannya tererhenti, darah menyembur dari mulutnya. Dan lelaki perkasa itu, yang memakai kopiah berlilit berukir-ukir pertanda jabatan penghulunya, jatuh tertelentang. Dia tak pernah mengeluh. Samurai yang tertancap di dadanya tegak seperti tonggak peringatan. Tegak angkuh dan kukuh. Sekukuh lelaki yang mati di ujungnya.

Datuk itu mati sedepa dari tempat isterinya. Matanya menatap ke langit yang tinggi. Seekor Elang terbang melintas. Suara pekiknya terdengar menyayat pilu. Saburo merasa bulu tengkuknya berdiri mendengar sumpah Datuk itu tadi. Anak gadis Datuk itu tiba-tiba menghambur ke tengah mengejar ibu dan ayahnya yang bermandi darah. Namun tangannya disambar oleh Saburo.

“Bersihkan kampung ini !” teriaknya pada anak buahnya.

Dan begitu anak buahnya memencar, dia segera menyeret gadis bertubuh montok itu naik ke rumah Adat. Gadis itu meronta dan memberikan perlawanan. Dia belajar silat Kumango dari ayahnya. Kini dia mencoba melawan kehendak Jepang laknat itu. Namun di tangan Saburo, yang tidak hanya mengerti ilmu samurai, tapi juga mahir dalam Karate dan Judo, kepandaian gadis ini jadi tak ada artinya.

Tangannya memang berhasil menampar Kapten itu tiga kali. Tapi begitu Saburo membalas menamparnya sekali saja, gadis itu pingsan. Saburo memangku tubuhnya yang tersimbah itu ke atas rumah. Di tengah ruang dia tegak. Mencari dimana letak bilik. Saat terpandang pada kamar gadis itu sendiri, dia melangkah ke sana. Kamar itu bersih dan indah. Bau harum bunga melati menyelusup ke hidungnya. Itu menyebabkan nafsunya menyala. Dia menghempaskan tubuh anak gadis Datuk Berbangsa itu ke kasur. Kaki gadis itu terkulai ke bawah tempat tidur. Dan kainnya tersimbah lebar.

Di bawah rumah itu ada kandang ayam sedang mengerami selusin anaknya yang gemuk-gemuk. Suara berdentam di atas rumah, yang ditimbulkan oleh sepatu Saburo ketika naik tadi mengejutkan ayam-ayam tersebut. Induk ayam itu tegak dan berlari ke tempat gelap. Anak-anaknya memburu dan menyeruak sayap ibunya dan masuk ke bawah sahap induknya. Salah seekor di antaranya, yang berwarna putih pucat, gemuk dan besar, masih berputar-putar di luar.Induknya diam saja melindungi anaknya yang sebelas ekor. Anak ayam yang satu itu mulai memutari tubuh induknya. Kemudian menyeruak di antara bulu sayap induknya yang hitam kepirang-pirangan. Induknya merapatkan sayap. Beberapa kali anak ayam gemuk itu tak berhasil masuk ke bawah ruangan di bawah perut ibunya. Tapi akhirnya, dia berhasil juga. Dia merasa hangat di bawah perut induknya itu. Tubuhnya berputar-putar di antara sebelas saudaranya yang lain. Tubuh induknya tergoyang-goyang karena dia berputar-putar di bawah.

Di halaman, enam depa dari kedua tubuh ayah dan ibunya, si Bungsu masih tetap tertunduk. Dia tak berani bergerak sedikitpun. Meski di halaman itu hanya ada seorang serdadu, dan serdadu itu tegak sebelas depa darinya, membelakanginya pula. Menghadap ke belakang rumah. Namun si Bungsu tak pernah punya keberanian sedikitpun untuk tegak mendekati tubuh Ayah dan Ibunya.Dia juga tak punya keberanian untuk menolong kehormatan kakaknya yang dirajah Saburo Matsuyama di atas rumah mereka. Tidak.

Dia memang tak punya keberanian sedikitpun selama ini. Keberaniannya hanya satu. Yaitu main judi. Tapi kini apa guna kepandaiannya yang satu itu? Sebagai anak lelaki dia anak lelaki yang “tak lengkap”, betapapun dia pernah amat membanggakan “ilmu” judinya.

Di kamar di atas rumah gadang itu, kakak si Bungsu tiba-tiba tersadar. Dia merasa lehernya pedih dan panas. Merasa ada nafas mendengus di wajahnya. Merasa tubuhnya disimbahi peluh. Merasa ada beban berat menghimpitnya. Dan tiba-tiba dia memekik dan melambung tegak. Tapi pekiknya terhenti tatkala Saburo menyabetkan samurainya.

Gadis itu terkulai ke jendela. Dia menutup dadanya dengan tangan. Matanya menatap sayu ke halaman. Menatap pada mayat ayah dan ibunya. Dan matanya terhenti pada wajah si Bungsu yang masih duduk berlutut dan meman¬dang padanya. Bibir gadis itu bergerak. Seperti bicara pada adiknya. Namun tak ada suara yang keluar. Matanya segera layu. Dan kepalanya terkulai ke bendul jendela.

Si Bungsu masih terpaku di tempatnya dengan penuh ketakutan. Tertunduk dengan diam. Tak lama kemudian dia lihat Kapten Saburo Matsuyama turun dari rumah sambil melekatkan ikat pinggang. Di halaman dia terhenti tatkala terpandang pada si Bungsu. Dia segera ingat pada sumpah Datuk Berbangsa. Ingat pada sumpahnya yang akan menuntut balas. Siapa yang akan menuntutkan balasnya selain dari anaknya ini? Dengan kesimpulan begitu dia lalu mendekati si Bungsu. Takut Si Bungsu muncul.

“Aaaa..ampuun tuan. Ampuun!” dia bermohon-mohon dengan tubuh menggigil.

Beberapa penduduk yang melihatnya dari kejauhan menjadi jijik dan mual melihat sikap anak muda ini. Mereka seakan ingin menginjak-injak anak muda pengecut itu. Benar-benar jahanam. Benar-benar laknat. Anak haram jadah!, maki hati mereka.

Saburo memegang hulu Samurainya. Si Bungsu jadi terkejut. Dia tahu Jepang itu berniat membunuhnya. Dia segera bangkit. Sambil memekik minta ampun dia menghambur mengambil langkah seribu. Namun anak muda pengecut ini memang sial. Pedang Samurai Saburo bergerak amat cepat. Punggungnya belah. Dia tersentak. Rubuh tertelungkup dengan punggung menganga mulai dari belikat kiri sampai ke batas pinggul.

Sementara itu, kampung tersebut telah jadi lautan api. Pekik dan lolong terdengar bersahutan. Perempuan-perempuan berpekikkan diseret ke bawah pohon. Diperkosa dan beberapa lelaki yang coba melawan dibantai dengan samurai atau ditusuk dengan bayonet.

Menjelang sore, kampung itu hampir rata dengan tanah. Asap mengepul di mana-mana. Burung elang dan gagak terbang rendah seperti melihat bangkai yang bergeletakan. Itu adalah penyembelihan yang tak terlupakan bagi penduduk di kampung itu. Tak kurang dari sepuluh nyawa melayang. Dan di pihak Jepang hanya 3 serdadu yang dimakan samurai di tangan Datuk Berbangsa.

Beberapa rumah memang masih tegak dengan utuh, yaitu rumah-rumah yang tak berpenghuni. Serdadu Jepang itu sudah kembali ke Payakumbuh, dimana mereka bermarkas. Makin hari makin banyak jumlah mereka yang datang ke Minangkabau lewat Sumatera Utara. Kekuatan mereka dipencar ke beberapa kota utama di Minangkabau.

🤺🤺🤺🤺🤺
BERSAM.BUNG

Standar

TIKAM SAMURAI

CERBUNG

    EPISODE 003

PENGHIANATAN

Mula-mula para serdadu itu datang dengan baik-baik. Tapi itu hanya sebentar. Sepekan kemudian segera diketahui bahwa mereka sebenarnya tengah mencari kaum lelaki. Semula dikatakan bahwa kaum lelaki dibutuhkan tenaganya untuk bekerja di kota. Beberapa kantor di Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Panjang dan Padang membutuhkan tenaga lelaki. Begitu menurut kabar yang disiarkan.

Namun kabar itu hanya mampu bertahan sebentar. Sebab pekan berikutnya Jepang-jepang itu tak lagi meminta kaum lelaki dengan bujukan. Kini mereka main tangkap. Penduduk segera tahu dari beberapa orang di kota, bahwa lelaki yang ditangkapi dan dibujuk dahulu, ternyata dikirim ke Logas. Sebuah tempat pendulangan emas di hutan belantara Riau. Selain dipekerjakan di tambang batu bara, kaum lelaki juga dipaksa membuat jalan kereta api.

Tidak hanya sampai di situ kekejaman Jepang-jepang tersebut. Mereka mulai mengganggu anak isteri orang. Dalam beberapa kali perkelahian sudah ada dua tiga penduduk yang mati kena tebas samurai. Sejenis pedang panjang yang tajamnya bukan main dan baru kali itu mereka lihat.

Beberapa lelaki mulai menyusun kekuatan untuk melawan kekejaman Jepang itu. Mereka terutama adalah pesilat-pesilat di bawah pimpinan Datuk Berbangsa, ayah si Bungsu. Mereka berlatih silat di tengah malam buta. Disaat serdadu Jepang tak merondai kampung itu. Tempat mereka latihan juga tersembunyi. Sangat dirahasiakan.

Latihan mereka kini ditambah dengan cara menghindarkan serangan dengan pedang panjang seperti yang dipakai para Jepang itu.Sebelum ini mereka tak pernah berfikir bahwa ada senjata seperti itu. Yang pernah mereka latih adalah menghindarkan tikaman keris yang panjangnya hanya dua tiga jengkal. Atau tebasan pedang yang panjangnya tak sampai dua hasta.Tapi samurai Jepang itu panjangnya luar biasa. Lebih panjang dari kelewang yang selama ini mereka kenal. Cara mempergunakannya juga luar biasa cepatnya. Serdadu Jepang itu nampaknya juga pesilat-pesilat tangguh menurut ukuran negeri mereka sana. Sebab dalam beberapa kali perkelahian antara Jepang dengan pesilat Minang di kampung mereka, pesilat-pesilat Minang itu pasti mati langkah dibuatnya. Tak sampai beberapa hitungan, si pesilat pasti rubuh dengan dada atau perut robek. Atau dengan leher hampir putus.

Jepang-jepang itu demikian cepat mencabut samurainya. Kemudian demikian cepatnya samurai itu berkelebat. Lalu dalam hitungan yang amat singkat, samurai itu kembali mereka masukkan ke sarungnya. Mulai saat dicabut, sampai memakan korban dua tiga orang, kemudian masuk kembali ke sarungnya, mungkin hanya dalam lima hitungan cepat. Artinya hanya dalam lima detik lebih sedikit.

Sebagai pesilat, Datuk Berbangsa dan teman-temannya mengakui secara jujur kecepatan Jepang-Jepang itu mempergunakan senjata tradisionil mereka. Kini mereka berlatih bagaimana caranya melumpuhkan serangan senjata maut panjang itu. Sebagai alat latihan mereka mempergunakan kayu sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir sedepa.

Malam inipun mereka sedang berlatih di tempat rahasia itu, dipimpin Datuk Maruhun, ayah Renobulan, bekas tunangan si Bungsu. Gerimis turun malam itu. Jumlah yang ikut latihan hanya tujuh orang. Yang lain tengah bertugas menyusun kekuatan di tempat lain. Termasuk ayah si Bungsu.

Datuk Maruhun tengah memberikan petunjuk di tengah sasaran(gelanggang silat) tatkala tiba-tiba mereka dikejutkan oleh cahaya senter. Mereka berusaha menghindar dengan menyebar. Tapi ternyata sasaran itu telah dikepung oleh lebih selusin serdadu Jepang.

“Hemmm, latihan silat ya. Latihan menghindarkan serangan Samurai ha!? Bagus! Bagus..!”ujar seorang Jepang berperut gendut bermata sipit sambil maju ke depan.

Ke tujuh lelaki itu tegak dengan diam di tengah sasaran. Di tangan mereka hanya ada keris. Tapi keris itu takkan berdaya menghadapi bedil yang diacungkan pada mereka oleh Jepang-Jepang itu. Satu-satunya jalan terbaik bagi mereka adalah tetap menanti. Menanti apa yang akan terjadi. Mereka berbaris tegak tujuh orang. Menatap ke depan, ke arah si gemuk yang barangkali merupakan komandan penyergapan ini.

“Teruslah latihan! Saya suka silat Minang. Bagus banyak, eh banyak bagus”, ujar si gemuk sambil menerkam ketujuh lelaki itu dengan tatapan matanya.

Ketujuh pesilat itu tak bergerak dari tempat mereka.

“Dari mana mereka tahu tempat sasaran ini?,” bisik Datuk Maruhun pada lelaki yang tegak di sisinya.

Lelaki itu tak menyahut. Semua mereka memang merasa terkejut atas kemunculan serdadu Jepang itu.Tak seorangpun yang mengetahui tempat latihan ini selain anggota mereka. Apakah di antara mereka ada yang berkhianat?

“Ayo mulailah bersilat, atau kalian perlu diajar dengan samurai sebenarnya?” si Gemuk itu bicara lagi.

Karena tetap saja tak ada yang menjawab, dia lalu memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Jepang itu maju. Memberikan bedil panjangnya yang berbayonet kepada temannya. Lalu dengan hanya samurai di pinggang dia masuk ke tengah sasaran.

“Hei, kalian berdua! Majulah dan lawan dia. “Jepang gemuk tadi menunjuk pada dua orang pesilat.

“Majulah…. kita memang menyusun kekuatan untuk melawan mereka. Kini kesempatan itu tiba. Lawanlah dengan segala usaha. Kalau Tuhan menghendaki, esok mati kinipun mati, lebih baik kita mati dalam berjuang, ” bisik Datuk Maruhun pada dua temannya itu.

“Doakan kami Datuk. Kalau kami mati duluan tolong anak bini kami,” lelaki itu balas berbisik perlahan.

“Jangan khawatir pada yang tinggal. Majulah, kami doakan . . . “

Dengan mengucap Bismillah, kedua lelaki itu maju dengan keris di tangan mereka. Mereka berdua tegak sedepa di hadapan Jepang itu.

Jepang gemuk yang merupakan Komandan dalam penyergapan itu memberikan petunjuk pada anak buahnya. Anak buahnya kelihatan tegak dengan diam, sementara tangan kanannya berada di gagang samurai yang masih tersisip dalam sarung di pinggangnya.

Pesilat yang di sebelah kiri mulai membuka langkah ke kanan. Yang di kanan juga melangkah ke kanan. Itu berarti mereka membuat langkah melingkari Jepang itu arah ke kanan pula. Jepang itu masih tetap tegak dengan diam.

Tiba-tiba pesilat yang ada di depan menyerang dengan sebuah tikaman ke lambung Jepang itu. Pesilat yang satu lagi bergulingan di tanah dan begitu tubuhnya berada dekat tubuh Jepang yang tegak itu, dia mengirimkan sebuah tikaman ke selengkangnya.

Beberapa saat Jepang itu masih tegak.Namun tiba-tiba dia bergerak. Gerakannya hanya seperti orang berputar saja. Tangannya tak kelihatan bergerak sedikitpun. Ketika dia berputar tadi tangannya masih di pinggang. Kinipun tangannya itu masih di pinggang. Di gagang samurainya. Namun pesilat yang menyerang duluan menggeliat. Dan tubuhnya rubuh ke tanah tanpa jeritan. Tengkuk dan punggungnya nampak tergores panjang, darah menyembur dari goresan itu.

Pesilat yang berguling di bawah lebih nestapa lagi, tangannya yang tadi menikam ke atas kini putus hingga di siku. Lehernya menganga lebar. Keduanya mati saat itu juga. Darah mereka membasahi sasaran.

Datuk Maruhun dan keempat temannya jadi terkejut bukan main. Namun mereka telah berketetapan hati untuk berjuang sampai mati. Mereka tetap tegak dengan diam.

Komandan Jepang itu bicara lagi dalam bahasa nenek moyangnya. Jepang yang membelakang itu berputar lagi lambat-lambat. Kemudian berjalan keluar sasaran. Sungguh mati, tak seorangpun di antara kelima lelaki yang masih hidup itu sempat melihat Jepang itu tadi mencabut Samurainya. Tak seorangpun!

Dapat dibayangkan betapa cepatnya Jepang itu bergerak.Padahal Datuk Maruhun adalah pesilat tangguh dari aliran silat Lintau. Dia dapat melihat dengan matanya yang setajam burung elang gerakan silat yang bagaimanapun cepatnya. Namun kali ini dia harus mengakui secara jujur, bahwa matanya ternyata masih kurang tajam.

Seorang lagi tentara Jepang masuk ke tengah sasaran. Jepang ini bertubuh kurus jangkung. Kelihatannya angkuh. Sesampai di tengah sasaran dia menghunus samurainya. Berbeda dengan serdadu pertama tadi yang tetap membiarkan samurainya dalam sarang dan tersisip di pinggang. Yang ini memegang hulu samurai itu erat-erat dengan kedua tangannya.

Komandan Jepang yang bertubuh gemuk itu kembali bicara : “Tadi kalian saya lihat berlatih mengelakkan serangan samurai. Bahkan coba membalasnya. Itu yang kalian mak¬sud dengan mempergunakan kayu panjang ini sebagai alat latihan bukan? Nah, kini Zenkuro akan mengajar kalian bagaimana mestinya latihan mengelakkan samurai. Kalian yang berdua di ujung itu majulah!”

 Kedua pesilat yang di tunjuk itu saling berpandangan. “Kami akan maju Datuk. Mohon maafkan kesalahan kami,” mereka berkata perlahan.

Nampaknya mereka telah yakin akan mati. Namun mereka menghadapinya dengan tabah.

“Kita akan mati bersama di sini. Hanya kalian terpilih lebih duluan. Majulah, Tuhan bersama kalian.” Datuk Maruhun berkata perlahan.

Kedua lelaki itu maju. Yang satu memegang tombak. Yang satu memegang pedang.Namun sebelum mereka mulai, komandan bertubuh gemuk itu berkata pada salah seorang anak buahnya.

“Hei, mana monyet tadi. Lemparkan kemari agar dia melihat pertarungan ini.”

Tak sampai beberapa hitungan, monyet yang dimaksud oleh Komandan itu segera didorong ke depan dari balik semak-semak. Dan kelima lelaki itu seperti ditembak petir saking terkejutnya tatkala melihat siapa yang dikatakan monyet itu.
  
 “Bungsu !!” Datuk Maruhun berseru kaget.
  
 “Bungsu !” Lelaki yang maju dengan tombak di tangan itu juga berseru.

Dan tiba-tiba kelima mereka dapat menebak kenapa Jepang-Jepang ini sampai mengetahui tempat sasaran yang mereka rahasiakan ini.

 “Jahanam kau Bungsu. Kau tidak hanya melumuri kepala ayahmu dengan taik, tapi juga melumuri kampung ini dengan kotoran. Berapa kau dibayar Jepang untuk menunjukkan tempat ini?” Datuk Maruhun membentak.

Anak muda itu hanya menarik nafas panjang. Wajahnya yang murung dan matanya yang sayu, menatap kelima lelaki orang kampungnya itu dengan tenang. Dan ketenangan ini membuat kelima mereka rasa akan muntah saking jijik dan berangnya. Yang memegang tombak tiba-tiba mengangkat tombaknya dan menghayunkan pada si Bungsu. Namun samurai di tangan si Jepang bergerak. Tombak itu potong dua sebelum sempat dilemparkan.

“Terkutuk kau Bungsu. Untung anakku tak jadi kawin denganmu. Tujuh keturunan kau kami sumpahi. Laknat jahanam!!” Datuk Maruhun menyumpah saking berangnya.

Namun anak muda itu tetap saja tegak dengan diam. Komandan Jepang itu memberi perintah pada si Jangkung di tengah sasaran.

Kepada kedua lelaki itu dia lalu berkata: “Nah, kalau tadi kalian menyerang, kini tangkislah serangan Zenkuro. . .”

Sebelum ucapannya habis, si Jangkung yang memegang hulu samurai dengan kedua tangannya itu  mulai menyerang. Serangan nampak biasa saja, membabat kaki, perut dan leher. Serangan begini dengan mudah dielakkan oleh kedua pesilat itu. Malah mereka bisa balas menyerang.

Beberapa kali pedang dan tangan di tangan pesilat yang satu beradu dengan samurai di tangan Jepang itu. Bunga api memercik dari benturan kedua baja tersebut. Kedua pesilat ini mengitari tubuh si Jangkung dengan melangkah berlawanan arah. Jadi dia dipaksa untuk memecah kosentrasinya. Sepuluh jurus berlalu. Tak kelihatan pihak mana yang akan menang.

Datuk Maruhun dan kedua temannya merasa gembira dan berdoa agar teman mereka menang. Namun posisi itu tak bertahan lama.

Si Komandan memberi petunjuk dengan bahasa kampung mereka. Jepang Jangkung itu tiba-tiba tegak dengan diam. Dan ketika tiba-tiba kedua pesilat itu menyerang lagi, dia bergerak berputar dengan cepat. Terdengar pekikan beruntun. Kedua pesilat itu rubuh mandi darah. Mati saat itu juga. Yang tadi memegang tombak buntung itu, dadanya robek lebar. Yang memegang pedang kepalanya seperti akan belah dua. Sasaran itu kini bergenang darah dalam hujan rintik yang makin lebat. 

 “Nah, kalian sudah lihat. Bahwa silat kalian tak ada artinya jika melawan Samurai. Karena itu jangan coba-coba membangkang perintah kami. Kini kalian yang masih hidup ayo ikut kami kembali ke kampung. Tunjukkan di mana teman-teman kalian yang lainnya. Termasuk Ayah monyet ini .”

Datuk Maruhun menatap pada si Bungsu yang disebut sebagai beruk oleh komandan Jepang itu.

“Waang tidak hanya pantas disebut beruk buyung. Tapi waang memang seekor beruk yang paling jahanam di dunia ini. Kenapa tak waang katakan sekaligus di mana Ayah waang bersembunyi pada Jepang-Jepang ini?”

Dia bertanya dengan penuh rasa benci pada si Bungsu. Namun anak muda itu tetap diam. Berjalan dengan kepala tunduk, mata sayu dan wajah murung.
  
Kalau saja dia tak dibatasi oleh tiga orang serdadu, mungkin dia telah mati ditikam oleh ketiga lelaki itu. Bahkan kalau ayahnya ada di sana, mereka yakin bahwa Datuk Berbangsa yang akan membunuh anaknya ini.Sudah bisa dipastikan, bahwa untuk mendapatkan uang untuk berjudi, anak celaka ini telah membuka rahasia tentang latihan yang diadakan di kampungnya pada Jepang, berikut di mana latihan diadakan. Bisa diterima akal betapa berangnya penduduk padanya.

Kabar tentang khianatnya si Bungsu segera menjalar seperti api dalam sekam di kampung itu. Belum dua bulan yang lalu dia diberitakan dari mulut ke mulut perkara pertunangannya yang diputus pihak Reno, kini dia kembali diberitakan dari mulut ke mulut soal khianatnya. Namun tak ada yang berani turun tangan secara langsung.

Di kampung itu kini ditempatkan lima orang serdadu Jepang. Jepang-jepang itu tak berhasil menemukan Datuk Berbangsa dan teman-temannya. Untuk itu mereka menempatkan lima orang serdadunya untuk menjaga dan menangkap kalau-kalau Datuk itu muncul sewaktu-waktu. Sementara Datuk Maruhun serta kedua temannya yang tertangkap di sasaran itu, dibawa ke Bukittinggi. Ditahan di sana. Tapi ada yang mengatakan bahwa ketiga mereka telah dikirim ke Logas. Di berbagai daerah perang melawan serdadu Jepang belum lagi mulai. Sebab Jepang baru saja menggantikan kedudukan tentara Belanda.

Suatu malam terjadi kegemparan di kampung itu. Kelima serdadu Jepang yang ditempatkan di surau mengaji, yang dijadikan pos darurat, subuh-subuh kedapatan mati semua. Pada tubuh mereka ada bekas tikaman. Jelas tikaman keris. Lewat subuh sedikit, hampir seratus serdadu Jepang mengepung kampung itu Ternyata Datuk Maruhun dan kedua temannya lolos dari tahanan. Kabarnya bersama Datuk Berbangsa dan beberapa pejuang lainnya mereka membunuh pula empat orang serdadu Jepang di penjara. Lalu malam itu juga menyelusup ke kampung. Mereka membawa anak dan isteri melarikan diri.

Ketika kampung itu dikepung Jepang, yang tinggal di sana hanya beberapa keluarga saja. Umumnya perempuan yang suaminya telah tertangkap atau dikirim ke Logas, atau bersembunyi. Empat lelaki yang tertangkap segera dibariskan di depan surau di mana kelima serdadu Jepang itu mati malam tadi.

Keempat lelaki itu sebenarnya orang-orang biasa yang tak ada sangkut pautnya dengan kejadian di kampung itu. Mereka hanya petani biasa. Malahan satu di antaranya adalah seorang bisu dan tuli. Namun Jepang itu tak perduli.

🤺🤺🤺🤺🤺
BER.SAMBUNG

Standar

TIKAM SAMURAI

    EPISODE 002  

BATALNYA SEBUAH PERTUNANGAN

Kakinya melangkah ke arah kampung. Perutnya terasa amat litak. Ketika akan sampai di rumahnya, sebuah rumah gadang beratap ijuk, dia lihat beberapa perempuan berada di rumah. Dia memutar ke belakang. Lewat pintu belakang dia naik ke rumah. Terus ke dapur.
Di dapur dia berpapasan dengan kakaknya.

“Hei Bungsu, orang mencari . . . Astaga ! Berantam lagi kau ya?”

Anak muda itu, yang merupakan anak yang paling bungsu di antara mereka dua beradik, dan karena itu dia dipanggil dengan sebutan si Bungsu, tak menghiraukan kekagetan kakaknya. Dia mengambil piring. Dan mulai menyenduk nasi.

“Duduklah ke sana. Jangan mengambil nasi sendiri. Awak laki-laki. Biar kakak ambilkan !”

“Ah tak usah susah-susah. Saya bisa mengambil sendiri.”

“Duduklah, tukar pakaianmu. Di depan ada tamu yang akan bicara denganmu.”

“Tak ada urusanku dengan mereka !”

“lni tentang pertunanganmu . .”

Dia tetap tak peduli, yang jelas dia ingin makan sekenyang-kenyangnya. Ketika mulai menyuap, ibunya muncul. Perempuan itu tertegun melihat anak bungsunya ini. Dia tak usah bertanya kenapa muka dan tubuhnya biru-biru. Tak usah ditanyakan kenapa pakaiannya robek-robek. Perempuan ini sudah arif akan apa yang telah terjadi. Dia tatap anaknya yang tengah makan dengan lahap itu.

Sementara sambil makan, sesekali sudut mata si Bungsu melirik pada ibunya. Selesai makan, setelah tiga kali bertambuh, dia mencuci tangan. Kemudian berniat untuk turun lewat pintu belakang.

Tapi dia terhenti tatkala terdengar suara ibunya yang sejak tadi berdiam diri.

“Tukarlah pakaian dengan yang bersih. Di depan ada tamu yang ingin berunding.”

“Merundingkan pertunangan saya dengan Reno?”

“Ya. .”

“Apa lagi yang harus dirundingkan. Bukankah kami sudah bertunangan?”

“Tapi . .”

“Soal perkawinan?” Perempuan itu menggeleng.

Si Bungsu terhenti di tangga melihat geleng kepala ibunya.

“Mereka ingin mengembalikan tanda dan memutuskan pertunangan?” tanyanya dengan datar.

Ibunya tidak mengangguk dan tidak pula menggeleng. Dia lalu melangkah cepat-cepat ke ruang tengah tanpa menukar pakaiannya yang compang camping itu.

Ayahnya dan empat lima perempuan yang hadir jadi kaget melihat kemunculannya. Ayahnya nampak sekali merasa terpukul atas kehadiran anaknya yang tak selesai itu. Ayahnya, dan semua orang di ruang depan itu, segera tahu bahwa anak ini baru saja kalah dalam perkelahian setelah berjudi. Dia pasti menang pada mulanya. Dan kemenangannya diakhiri dengan perkelahian. Dan dialah yang kalah paling akhir. Sebab kalau dia yang menang, dia pasti pulang dalam keadaan sehat wal afiat.

“Akan mengembalikan tanda pertunangan itukah Etek kemari?”

Dia bertanya pada salah seorang perempuan yang jadi tamu ibunya sambil tetap tegak.

“Bungsu! Beradab sedikit. Tukar pakaian dan duduk berunding dengan sopan!!” Ayahnya membentak.

Dia menatap ayahnya. Dia memang takut pada ayahnya ini. Tapi kali ini rasa takutnya itu dia tekan kuat-kuat. Tanpa mengacuhkan perintah ayahnya dia menatap lagi pada perempuan yang datang itu.

Lalu suaranya terdengar berkata dengan pasti. “Kalau dulu ketika bertunangan saya tidak dibawa berunding, maka kini biarlah saya yang memutuskannya. Pertunangan ini memang lebih baik dibatalkan.”

“Bungsu!” ayahnya membentak.

Namun dia tak memperdulikan bentakan ayahnya. Tak kalah kerasnya dari bentakan si ayah, dia berkata:

“Saya memang bukan pendekar. Bukan pula guru yang bisa diharapkan untuk membelikan emas dan sawah bagi isteri saya. Karena itu saya tak berniat untuk menikah. Nah, ambillah cincin ini kembali!”

Sehabis ucapannya dia membuka cincin di jari manisnya. Kemudian melemparkannya ke pangkuan perempuan yang tadi dia sebut dengan Etek itu. Kemudian dia melangkah ke belakang. Melewati Ibunya yang tertegak di pintu tengah. Kemudian turun. Melewati kakaknya yang tegak di dapur.

“Anak yang benar-benar tak beradab. Tak bermalu. Tak dimakan ajaran !!!” ayahnya menyumpah panjang pendek dengan muka yang merah padam.

Akan halnya perempuan-perempuan yang datang itu, tak bisa bicara sepatahpun. Kejadian sebentar ini memang luar biasa hebatnya bagi mereka. Mereka memang menghendaki pertunangan diputuskan. Tapi tak terpikirkan oleh mereka akan begini caranya.

Renobulan adalah gadis tercantik di kampung ini. Banyak lelaki jatuh hati dan bersedia berkorban untuknya. Tapi setahun yang lalu dia telah ditunangkan dengan si Bungsu. Orang tahu bahwa pertunangan itu hanya karena ikatan kekeluargaan saja. Keluarga Reno dan keluarga si Bungsu masih berkait-kait famili. Dan kedua keluarga mereka termasuk keluarga yang terpandang di kampung itu. Terpandang dalam turunan dan harta. Sudah jadi tradisi, mereka mengikat perkawinan sesama mereka. Artinya mereka tetap menjaga kelestarian turunan dan menjaga agar harta pusaka tak jatuh ke tangan “orang luar”. Padahal semua orang berani bertaruh, bahwa Reno yang cantik itu pasti tak menyukai si Bungsu.

Bah, apa yang diharapkan gadis secantik dan selembut Renobulan itu dari seorang lelaki seperti si Bungsu? Wajahnya selalu murung. Matanya sayu seperti tak semangat hidup. Pemalas dan pejudi luar biasa. Penakut Allahurobbi. Soal judi, tak satupun orang-orang di kampung ini, bahkan sampai ke kampung-kampung lain, yang tak tahu bahwa anak muda ini adalah hantunya judi. Semua laki-laki yang pernah jatuh hati pada Reno memaki orang tuanya sebagai orang tua mata duitan. Yang bersedia menjual anak gadisnya demi menjaga harta warisan. Orang tua laknat, rutuk mereka.

Tapi orang tua Reno nampaknya juga punya persyaratan. Mereka berusaha agar si Bungsu itu merubah perangainya. Tapi apa daya, anak ini memang tak pernah berobah. Dia malah menjadi bahan gunjing dan bahan ejekan sesama besarnya. Dan siapa pula yang mampu bertahan bertunangan dengan lelaki seperti itu?

Si Bungsu melangkah turun dengan hati kesal. Pertunangannya memang termasuk pertunangan yang aneh. Sejak bertukar cincin setahun yang lalu, dia baru bertemu dengan tunangannya itu sebanyak tiga kali. Dua kali di pasar Jumat dan sekali ketika sembahyang Hari Raya. Dalam tiga kali pertemuan itu, tak sepatahpun mereka sempat bicara. Mereka hanya bertatapan sejenak dalam jarak yang jauh. Kemudian dia sibuk dengan teman-temannya. ltulah modelnya pertunangan itu.

Dia bukannya tak tahu bahwa Reno adalah gadis cantik yang jadi rebutan banyak orang. Tapi dia tak mau gadis itu menyangka bahwa dia termasuk salah satu di antara lelaki yang memburu cintanya.

Puih! Kini pertunangannya yang tak berkelincitan itu sudah tamat riwayatnya. Hatinya jadi lega. Ya, dia jadi lega. Sebab dia semakin bebas untuk berjudi.

“Hmm, kemana harus mencari modal untuk berjudi?”, pikirnya sambil terus melangkah meninggalkan surau tua itu.

Kabar tentang putusnya pertunangan itu segera tersebar di kampung-kampung berdekatan. Namun para pemuda di kampung-kampung itu tak segera dapat bergembira dengan kabar tersebut. Sebab bersamaan dengan putusnya pertunangan itu, ke kampung mereka dan juga ke kampung-kampung lainnya, berdatangan serdadu Jepang.

🤺🤺🤺🤺🤺
BERSAMBU.NG

Standar

“TIKAM SAMURAI”

Berawal dari hobby membaca sejak kecil, baik Novel, komik, majalah, koran dan sebagainya maka saya berharap orang lain pun bisa menikmati berbagai bacaan terutama bacaan-bacaan yang bagus dimasa lalu yang sekarang sulit untuk dinikmati kembali ataupun banyak bagian bagian yang sudah hilang. Pada suatu grup Whatsapp ada teman yang mem post kembali novel-novel jaman dulu dan saya berinisiatif untuk menampilkannya dalam laman saya ini agar semua orang dapat membacanya. Selamat menikmati !!!

Tikam Samurai adalah karya monumental dari Makmur Hendrik, pria yang lahir tanggal 7 Juni 1947  di desa adat Buluh Cina, tak jauh dari Kota Pekanbaru. Namun sejak 1964, Makmur Hendrik berdomisili di Sumatra Barat, dan sangat mengenal budaya, adat dan filsafat Minangkabau. Menurut pengakuannya, inspirasi karya-karyanya banyak diambil dari keagungan filsafat Minangkabau dan sejarah panjang berbagai peristiwa besar sejak zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan pemberontakan PRRI .

EPISODE 001

PERKELAHIAN DI SURAU USANG

Perkelahian yang tak seimbang itu segera saja berakhir. Keempat lelaki berdegap tersebut dengan mudah menyikat lawan mereka. Lawan yang mereka sikat itu adalah seorang anak muda yang berusia sekitar 19 tahun. Anak muda itu tergelimpang dekat sungai di belakang surau tinggal, jauh di pinggir kampung. Pakaian anak muda itu sobek-sobek. Dia tak sadar diri. Uangnya terserak-serak. Keempat lelaki yang mengeroyok dan melumpuhkan dirinya itu segera memunguti uang yang terserak-serak itu.

Uang itu tadinya adalah uang mereka berempat. Berpindah tangan pada anak muda itu dalam suatu perjudian yang berlangsung sejak sore kemarin. Menjelang subuh, ternyata anak muda itulah yang menang. Dia memang seorang penjudi ulung. Tiap berjudi jarang yang kalah. Tapi malangnya dia selalu disikat lawannya yang dia kalahkan.

Perjudian hampir selalu diakhir perkelahian. Dan dalam tiap perkelahian dipastikan dialah yang kalah, karena lawan-lawan yang dia kalahkan bersatu mengeroyoknya. Lalu selalu saja uang yang telah dia menangkan disikat oleh lawan-lawannya kembali. Termasuk juga uang miliknya sendiri.

“Lihat-lihat dulu orang yang akan waang lawan buyung. Jangan sembarang main saja…….I”Salah seorang dari lelaki yang berempat itu berkata.

Tak ada sahutan. Karena anak muda itu memang tak mendengar apa-apa. Dia tergolek pingsan. Keempat lelaki itu kemudian pergi. Kertas koa berserakan di antara puntung rokok daun enau. Hampir tengah hari anak muda itu baru sadar dari pingsannya.Tak ada yang mengetahui bahwa dia tergolek di sana. Tempat mereka berjudi memang tempat yang terpencil. Di sebuah surau yang telah lapuk.

Surau itu tak lagi pernah dipakai sejak seorang guru mengaji mati diterkam harimau saat pulang mengajar. Kampung jadi gempar. Dan surau tempat mengaji dipindahkan orang ke tengah kampung. Tapi lama-lama bekas surau itu berobah jadi tempat orang bermain koa. Berjudi dengan daun ceki. Mereka tak takut pada harimau. Sebab umumnya pejudi-pejudi itu adalah orang-orang yang mahir dalam bersilat. Lama-lama, berjudi di surau bekas itu menjadi suatu kebanggaan di antara para pejudi. Sebab berjudi di sana merupakan salah satu ujian mental. Hanya orang orang berani dan berilmu tinggi saja yang berani main ke sana.

Untuk mencapai surau itu harus melewati kuburan. Kemudian sebuah lembah berbelukar. Baru surau. Lembah berbelukar itu, dahulu, ketika surau itu masih tempat mengaji, adalah sawah. Tapi kini sudah ditinggal dan jadi belukar.

Anak muda itu menggerakkan tangannya. Dia masih tertelungkup. Menggerakkan kaki. Matanya masih terpejam. Hidungnya mencium bau tanah liat. Telinganya lambat-lambat mendengar kicau burung.

“Hm, . . . aku masih hidup,” bisiknya.

Dia coba memutar tubuh. Kepalanya terasa berdenyut. Tapi dengan menghajan semua tenaga, dia berhasil juga menelentangkan tubuh. Matanya jadi silau menatap sinar matahari yang terjun dari sela-sela daun pepohonan. Dia bangkit. Duduk dengan bersitumpu pada kedua lengannya. Menggoyang-goyangkan kepala yang kembali berdenyut sakit. Dia segera ingat pada kemenangannya menjelang subuh tadi. Tapi dia tak berniat untuk memeriksa uang dikantongnya. Tak perlu. Uang itu tak perlu diperiksa. Pasti sudah disikat orang.

—*—

 Dia segera mengumpulkan ingatannya kembali. Merekat sisa-sisa ingatannya sejak kemarin. Ya, kemarin senja dia datang kemari bersama empat orang lelaki. Keempat lelaki itu dia kenal tatkala membeli jagung bakar di pasar Jumat. Dia tak tahu siapa mereka. Tapi dari cara mereka tegak dan bicara, dia segera mengenal bahwa mereka adalah perewa dan penjudi. Dia kenal orang-orang jenis ini. Sebab dia sendiri adalah penjudi yang lihai. Dia ahli dalam berkoa atau main dadu. Keempat lelaki itu dia lihat tengah jongkok dekat sebuah pedati yang dipenuhi tembakau. Dia ikut jongkok.

“Minta api” katanya pada salah seorang yang mengisap rokok daun enau.

Orang itu tak segera bereaksi. Beberapa saat dia menatap anak muda yang tiba-tiba duduk di dekatnya itu. Tapi anak muda itu acuh saja. Dan akhirnya dia memberikan rokok yang dihisapnya.

“Terima kasih” ujar anak muda itu seraya mengambil rokok yang tinggal puntung pendek itu.

Tapi setelah dia membakar ujung rokoknya, puntung rokok lelaki itu tidak dia kembalikan. Melainkan dia buang begitu saja. Muka lelaki itu menjadi merah. Tapi anak muda itu seperti tidak peduli. Dia malah mengeluarkan segumpal uang dari balik bajunya.

“Berminat main?” dia bertanya dengan tenang.

Ah, dia memang ahli dalam soal ini. Lelaki yang puntung rokoknya dibuang itu kembali menatapnya. Kemudian menatap pada ketiga temannya yang masih tetap dengan tenang mengisap rokok dan duduk mencangkung. Salah seorang di antara mereka mengerdipkan mata. Dan anak muda itu dapat menangkap isyarat kerdipan itu dengan sudut matanya. Namun dia pura-pura tak tahu.

“Main apa waang bisa?” lelaki itu balik bertanya.

“Main apa saja!” jawabnya, pasti.

“Koa?”

“Boleh!”

“Dadu?”

“Boleh!”

“Barambuang?”

“Boleh. Sembaranglah!”Lelaki itu kembali menatap tiga temannya.

Dan kembali yang mengerdip tadi mengerdipkan sebelah matanya yang juling.

“Wang dengan siapa?”

“Saya berjudi tak pernah berkawan. Saya bisa main sendiri, dan ….menang !”.

Lelaki yang puntung rokoknya di¬buang itu menelan ludah. Dia menatap anak muda itu. Memperhatikannya dengan seksama. Melihat buku jarinya. Melihat sikunya. Melihat kakinya. Dan dia menduga bahwa anak ini pasti seorang pesilat. Tapi dia juga yakin, bahwa dengan berempat mereka bisa memakan anak ini. Mereka toh juga bukan orang sembarangan.

“Di mana tempatnya?”

“Terserah”

“Kami bukan orang sini. Kami tak tahu di mana tempat bermain yang baik .”

“Saya tahu . . .”

“Di mana ?”

“Si surau usang di hilir kampung sana .”

“Tempat guru mengaji diterkam harimau itu?”

Kini anak muda itu pula yang balas menatap lelaki itu.

“Kenapa tahu bahwa di surau itu dulu ada guru mengaji yang diterkam harimau, kalau memang bukan orang sini?”

“Kejadian itu sudah lama bukan? Setiap orang di pasar Jumat ini bercerita tentang kejadian itu beberapa tahun yang lalu.”

Anak muda itu menarik nafas.

“Benar! Di sanalah tempat main yang aman. Bagaimana, berani ke sana ?”

Untuk pertama kalinya, keempat lelaki itu tertawa bersamaan. Tertawa mendengar tantangan anak muda ini.

“Tak ada yang ditakuti oleh Baribeh dan kawan kawannya buyung.” Lelaki juling yang tadi mengerdip berkata.

“Baribeh?”

“Ya. Waang tak pernah mendengarnya?”

“Pernah. Baribeh itu binatang.”

Si Juling terdiam. Yang lain juga. Lelaki yang tadi puntung rokoknya dibuang itu jadi kelabu mukanya karena menahan berang.

“Jangan sembarang bicara buyung. Mulut waang bisa saya sobek,” ujar lelaki itu dengan suara berat.

“He, bukankah Baribeh itu memang binatang? Dan kerjanya memang tukang sobek pohon Kampeh untuk mendapatkan getahnya, kanapa Sanak mesti marah?”

Lelaki itu bangkit dan hampir saja menerjang anak muda itu kalau tak cepat dilerai oleh si Juling. Si Juling berbisik ke telinganya. Dan lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melanyau anak muda itu. Kemudian si Juling memutar tubuh. Bicara pada anak muda itu.

“Lebih baik waang hati-hati buyung. Tuan kami ini adalah pesilat yang bergelar Baribeh. Kerjanya memang merobek mulut orang-orang sombong seperti waang. Untung dia berbaik hati kali ini. Nah, kapan permainan bisa dimulai?”

“Terserah. Sekarangpun jadi. Tapi harap diingat, saya hanya menantang sanak untuk berjudi. Bukan untuk berkelahi .”

“Baik, baik! Tapi siang ini kami ada urusan. Bagaimana kalau senja nanti?”

“Tengah malampun saya mau. Saya tunggu kalian disana.”

Dan tanpa menoleh lagi anak muda ini berlalu.

“Pukimaknya!. Anak siapa dia makanya berani jual lagak begitu…,” maki lelaki yang tadi dibuang puntung rokoknya itu.

“Nampaknya dia cukup berisi. Kalau tidak mana dia berani berbuat seperti itu”

“Berisi tak berisi, yang jelas dia punya banyak uang. Malam ini kita sudahi dia. Hei, waang siapkan dadu dua pasang Jul”.

“Dadu itu selalu saya bawa..” jawab lelaki yang dipanggil Jul itu.Panggilan itu ternyata singkatan dari kata Juling.

Lalu, persis ketika azan magrib berkumandang, mereka muncul di surau usang itu. Di sana anak muda tadi telah menanti. Di bawah cahaya lampu damar yang ada di bekas surau itu mereka segera memulai permainan.

Mula-mula mereka main dadu. Dadu itu sudah disiapkan oleh si Jul. Biasanya mereka tidak pernah kalah. Sebab dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa, hingga apa saja yang dipasang lawan, pasti bisa diputar letaknya hingga tidak tertebak. Cara memutar dadu itupun dengan lihai dilakukan oleh si Jul yang Juling itu. Kelihatannya hampir-hampir sempurna.

Tapi kali ini mereka ternyata menghadapi seorang hantu judi. Mereka tidak menyangka bahwa dalam usia yang sedemikian mudanya anak ini sudah tidak terkalahkan dalam soal berjudi. Lewat tengah malam hampir semua uang mereka disikat anak muda itu. Mereka sudah pada mengantuk. Tapi anak muda itu tetap seperti semula. Matanya yang sayu, mukanya murung, tetap saja tidak berubah. Tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan sedikitpun.

Si Jul sudah beberapa kali memberi isyarat pada Baribeh untuk menghantam anak muda itu Tapi Baribeh sendiri ragu-ragu. Masakan anak muda ini tak mempunyai simpanan agak sedikit. Artinya, anak muda ini paling sedikit tentu pandai bersilat. Sebab mustahil dia akan berani sendirian saja kalau tak ada kepandaian apa-apa. Hanya kini yang menjadi bahan pertimbangan mereka adalah silat apa yang dimiliki dan jadi andalan anak muda ini. Kumango? Pangian, Lintau, Starlak atau Pauh? Atau Sunua dan Silek Tuo yang terkenal itu? Tak ada jawaban yang pasti. Anak muda itu tetap saja meraih kemenangan demi kemenangan.

“Ah, kita istirahatlah sebentar.” si Baribeh berkata.

“Boleh. Berhentipun juga boleh!” anak muda itu menjawab seenaknya.

Muka Baribeh dan teman-temannya jadi kelabu mendengar jawaban itu.

“Berhenti kata waang?! Adat di mana waang pakai buyung, berhenti di saat orang lain kalah!” si Jul bertanya dengan nada tak sedap.

Tapi anak muda itu tetap cuek, malah dengan tenang pula dia balas berkata:

“Tak ada adat apa-apa dalam berjudi ini sanak. Kalau mau main terus juga tak apa. Tentu kalau kalian masih punya duit. Saya khawatir kalian akan pulang dengan celana dalam saja……….”

Dan sambil mengulum senyum, anak muda ini mengelaikan diri ke tikar pandan usang yang mengalas lantai surau itu. Baribeh menggerutu panjang pendek. Tapi dia juga mengelaikan tubuhnya.

Pelita kecil yang menerangi ruangan surau itu bergoyang-goyang kena angin lemah yang masuk dari sela-sela lobang di dinding. Si Juling dan Baribeh mulai sama-sama berfikir. Bagaimana kalau lampu ini dimatikan. Kemudian mereka hantam anak muda itu, dan uangnya mereka sikat. Uang anak muda ini ternyata banyak sekali. Ada tiga kali sebanyak yang dia perlihatkan di Pasar Jumat pagi tadi. Dengan uang itu mereka bisa membeli tiga buah pedati atau bendi dan beberapa petak sawah. Ah, uang itu harus mereka peroleh. Harus. Baribeh melirik ke lampu togok yang bergoyang itu.

“Kalau lampu ini mati, kita akan susah…..” tiba-tiba anak muda itu berkata.

Baribeh dan si Jul kaget. Anak muda ini rupanya bisa membaca isi hati mereka. Dan mereka jadi tambah yakin bahwa anak muda ini punya ilmu yang tak rendah.

“Hei, sanak ada membawa api ?” Anak muda itu bertanya.

Baribeh menelan ludahnya sebelum menjawab “Ada, mengapa ?”

“Ada yang berniat mematikan api itu nampaknya.” anak muda itu berkata lagi.

Baribeh dan teman-temannya tambah kaget dan pelan-pelan jadi kecut. Anak muda ini memang seorang yang padat isinya, pikir mereka.

Tapi untuk tak kalah gengsi Baribeh kembali bertanya :

“Siapa pula yang akan mematikannya?”

“Angin! Tak terasa angin makin kencang?” Anak muda itu berkata seadanya.

Tak sedikitpun dia menyangka bahwa orang-orang itu memang berniat akan mematikan lampu itu. Tapi Baribeh dan teman-temannya merasa diolok-olok oleh anak muda itu. Mereka merasa disindir. Karenanya mereka memilih diam saja. Diam dengan hulu hati yang amat pedih saking menahan berang.

Menjelang subuh mereka bangun dan main lagi. Kali ini main koa. Tapi sialnya, anak muda itu menang terus. Terus dan terus. Akhirnya keempat lelaki itu memang tinggal celana kotok saja. Semua pakaian mereka, termasuk keris dan pisau serta korek api, habis tergadai kepada anak muda itu. Anak muda itu ternyata memang setan judi. Dan ketika mereka sudah hampir telanjang, anak muda itu tertawa terpingkel-pingkel. Saat itulah iman Baribeh dan teman-temannya layu.

Anak muda itu mereka sikat bakatintam. Mula-mula yang menghantam adalah si Jul. Tendangannya yang pertama tak mengenai sasaran. Anak muda itu sebenarnya terteleng kepalanya.Tendangan si Jul lewat. Tapi dalam penglihatan mereka, anak muda itu mengelak dengan jurus lihai. Teman si Jul menghantam pula dari belakang. Waktu itu anak muda tersebut tiba-tiba menunduk, ingin memungut duitnya yang berserakkan. Dan tendangan yang melaju dari belakangnya kembali tak mengenai sasaran. Malah ketika dia bangkit tiba-tiba, kaki yang tengah melintas itu terbawa naik oleh punggungnya. Tak ampun lagi, si tinggi di belakangnya terjengkang.

Keempat lelaki itu terkejut, tak sedikitpun mereka menyadari bahwa kedua serangan tadi luput hanya secara kebetulan saja. Kini dengan kewaspadaan tinggi keempat lelaki itu bersiap. Si Baribeh membuka serangan dengan sebuah pukulan. Dan kali ini faktor kebetulan itu tak lagi menyertai anak muda tersebut. Pukulan itu mendarat dengan telak di dadanya. Dia terhuyung, serangan berikutnya berkatintam menghamtam tubuhnya. Dia terpekik-pekik. Teraduh-aduh.Namun keempat laki-laki itu tidak memberi ampun sedikitpun.

Dari atas surau perkelahain yang tidak bisa disebut perkelahian itu, beralih ke bawah. Beralih karena tubuh anak muda itu tercampak menghantam dinding karena sebuah tendangan yang telak. Tubuhnya menghantam dinding lapuk dan jebol, tubuhnya melayang ke bawah lewat dinding lapuk yang jebol itu. Dan di bawah surau itulah nasibnya selesai.

Kini dia mengingat kembali semua peristiwa itu. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, terangkat perlahan. Dia menarik nafas panjang. Seharusnya dia sudah berhenti main setelah menang besar sepekan yang lalu. Dia berniat membeli sawah, atau pergi merantau dengan uang itu. Hidup di kampung ini terasa membosankannya. Tapi dasar penjudi, begitu mengetahui ada penjudi lain, dia segera berselera lagi. Dan inilah akibatnya.

Lambat-lambat dia merangkak ke sumur. Mencuci muka dan sekujur tubuhnya yang bergelimang luluk. Meminum air sumur itu beberapa teguk. Kemudian naik kembali ke surau.Dia memungut beberapa puntung rokok daun nipah. Membuka gulungannya. Kemudian mengumpulkan tembakau dari sisa rokok itu. Dari kertas usang yang masih menempel di dinding surau dia menggulung sebatang rokok dengan tembakau sisa tadi. Lalu bersandar ke tiang tengah. Lalu mengambil anak korek api yang terserak. Lalu membakar rokoknya. Matanya terpejam mengisap rokok assembling itu.

Saat matanya yang sayu terpandang pada kertas-kertas koa yang berserakan, dia memungutnya beberapa buah.

“Babi halus … Jarum udang … Tali sirah…” katanya sambil melemparkan koa itu ke lantai satu demi satu seraya menyebutkan nama kertas-kertas tersebut.

Rokok itu tak habis dia hisap. Dia terbatuk-batuk. Pikirannya melayang pada Baribeh dan ketiga temannya. Dia bersumpah untuk mencari mereka. Akan dia ajak lagi berjudi. Dan dia yakin akan mengalahkan orang-orang itu. Hanya kini dari mana dia harus mencari modal? Akan dia jualkah kambingnya yang tiga ekor itu? Ah, Ibu dan ayahnya pasti marah. Marah ibunya mungkin dapat dia amankan. Ibunya paling-paling marah sebentar. Yang dia takuti adalah ayahnya.Ayahnya suka main tangan. Mentang-mentang guru silat.

Puih, dia jadi mual melihat ayahnya yang dia anggap banyak lagak itu. Apalagi kalau ayahnya sudah mengajar di sasaran silat. Hatinya jadi bengkak melihat. Dia paling benci melihat orang belajar silat. Apa untungnya belajar silat? Mending belajar judi. Uang dapat perut kenyang, pikirnya.

Meski telah berkali-kali dia dikeroyok orang dalam berjudi, dan berkali-kali pula ayah dan kakaknya memaksa untuk belajar silat, namun dia tetap tak menyukai silat.

Dia memang termasuk anak yang aneh. Ayahnya adalah seorang guru silat ternama, demikian pula kakaknya. Tapi dia sendiri lebih suka main koa atau main layang-layang. Dia tahu ayahnya tak menyenangi perangainya itu. Tapi apa pedulinya. Dia tidak pernah menyusahkan mereka toh? Dia memang beberapa kali dihajar oleh pejudi-pejudi lain. Sering babak belur dalam perkelahian. Tapi dia tak pernah mengadu pada ayah dan saudaranya yang jagoan silat itu. Tidak. Pantangan baginya untuk mengadu.

Bagi dia judi merupakan suatu lambang kejantanan. Kenapa hanya pesilat yang disebut jantan? Kenapa pejudi tidak? Bukankah berjudi juga membutuhkan keahlian? Malah baginya judi lebih tinggi nilainya dari silat. Dalam judi orang mengadu otak. Sementara dalam silat orang mengadu otot. Nah, secara harafiah bisa diartikan bahwa dia jauh lebih berotak dari pada ayah atau pesilat manapun. Begitu alur fikirannya.

Tambahan lagi, berjudi dia anggap mempunyai seni yang tinggi. Dalam main dadu dibutuhkan semacam firasat yang tajam untuk mengetahui “mata” berapa yang akan muncul di atas. Dan diperlukan perhitungan yang teliti untuk gim sampai tiga kali dalam main koa. Dalam silat mana ada seninya? Yang ada hanya main sepak, pukul, siku, tangkap, cekik, atau tendang uncang-uncang di kerampang, atau banting. Bah, benar-benar keras dan kasar. Dia benar- benar tak menyukainya.

Dia lalu tertidur karena lelah. Dalam tidurnya dia bermimpi jadi seorang pesilat yang jauh lebih tangguh dari ayah dan kakaknya. Bahkan jauh lebih tangguh dari pesilat pesilat tangguh manapun jua. Lewat tengah hari dia terbangun. Dia menyumpahi mimpinya yang jadi pesilat tangguh itu. Kenapa tak mimpi menjadi seorang raja judi. Dengan masih menyumpah-nyumpahi mimpinya dia turun dari surau tersebut.

🤺🤺🤺
BERSAMBUNG

Standar

Dokumen Final RZWP3K Provinsi Jambi (Kata Pengantar dan Daftar Isi)

Tekanan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia terhadap sumberdaya sering mengakibatkan rusaknya lingkungan, terjadinya pencemaran perairan, dan meluasnya proses erosi. Demikian juga dengan kegiatan industri yang terjadi di bagian hulu seringkali menimbulkan dampak pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah ke badan sungai tanpa pengolahan yang mempengaruhi kualitas lingkungan di wilayah pesisir dan laut, dan akhirnya berdampak kepada biota.

Salah satu upaya penanggulangan permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir dan laut, maka diperlukan sebuah acuan pengelolaan dan pemanfaatan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) beserta regulasi turunannya, diharapkan dapat diimplementasikan oleh seluruh provinsi di Indonesia melalui penyusunan dokumen perencanaan spasial Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). RZWP3K adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada pasal 7 ayat (3) UU Nomor 27 tahun 2007, ditegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menyusun semua dokumen perencanaan pengelolaan WP3K termasuk RZWP3K, dan sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai management authority menyusun sebuah Pedoman Teknis yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunannya.

Implementasi dari sebuah perencanaan memiliki potensi keberhasilan yang besar dan meminimalkan dampak kerugian apabila tahapannya dilakukan secara benar. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23 tahun 2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah menjabarkan tahapan-tahapan penyusunan RZWP3K mulai dari penugasan Dinas yang membidangi Kelautan dan Perikanan di tingkat provinsi oleh Gubernur, Pengumpulan data, Konsultasi Teknis peta dasar dan tematik, Penyusunan dokumen awal, Konsultasi teknis dokumen awal, Konsultasi publik dokumen awal, Penyusunan dokumen antara, Konsultasi teknis dokumen antara dan rancangan Peraturan Daerah, Konsultasi publik dokumen antara dan penyusunan dokumen final, permohonan tanggapan atau saran dan pelibatan Kementerian/Lembaga terkait, Perbaikan tanggapan dan/atau saran sekaligus proses ke dalam Peraturan daerah. Mekanisme dan uraian tahapan perencanaan dimaksud, dijelaskan pada pasal 23 sampai dengan pasal 33. Seluruh proses kegiatan harus terdokumentasi dengan baik, termasuk data-data harus terarsipkan secara rapih dan berurutan

Provinsi Jambi telah melakukan seluruh proses pelaksanaan kegiatan penyusunan Perda RZWP3K berdasarkan Permen-KP No. 23 Tahun 2016 dan telah menyelesaikan Perda RZWP3K No. 20 Tahun 2019 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jambi Tahun 2019 -2039


Standar